Kamis, April 28, 2016

Kritik Penelitian: Perbandingan antara Mendengarkan Lantunan Kitab Suci* dan Mendengarkan Musik Klasik

Penelitian yang saya kritik ini adalah penelitian sesungguhnya, namun demikian judul penelitian saya ubah untuk menghindari sentimen agama. Ini saya lakukan dengan harapan pembaca lebih fokus pada kelemahan penelitian yang dilakukan, dan tidak terganggu dengan 'bungkus' agama-nya. Ini juga saya lakukan untuk menyadarkan pembaca, bahwa tidak semua penelitian yang terbit di luar negeri dan berbahasa inggris pasti benar. Banyak penelitian yang memiliki kelemahan yang cukup serius termasuk penelitian yang saya kritik ini. 


Sekilas mengenai Penelitian Ini

Penelitian ini hendak membandingkan pengaruh mendengarkan lantunan kitab suci dan mendengarkan musik klasik terhadap gelombang otak alpha yang diukur menggunakan EEG. Meningkatnya frekuensi gelombang alpha menunjukkan peningkatan kondisi rileks partisipan. Penelitian ini hendak membandingkan pola gelombang otak antara kedua intervensi, baik sebelum, pada saat dan setelah intervensi.

Partisipan penelitian terdiri dari 28 orang berusia antara 20 hingga 28 tahun. Peneliti memilih salah satu kitab dalam Kitab Suci untuk dilantunkan, sementara musik klasik yang dipilih adalah Canon D major oleh Palchelbel [1]

Prosedur eksperimen yang dijalankan sebagai berikut:
  1. Sebelum eksperimen dimulai, peneliti mengambil data gelombang alpha partisipan terlebih dulu selama 5 menit sebagai sampel. Partisipan diminta untuk menutup mata dan dalam posisi rileks.Kemudian partisipan diberi waktu istirahat selama 1 menit. 
  2. Peneliti memperdengarkan musik klasik selama 5 menit, sementara partisipan mendengarkan dengan menutup mata. Selama mendengarkan, gelombang alpha juga dicatat oleh peneliti. Kemudian partisipan diberi waktu istirahat selama 1 menit. 
  3. Peneliti mengambil data gelombang alpha kembali selama 5 menit, dengan partisipan menutup mata. 
  4. Sesi diakhiri dengan beristirahat, berbincang atau membaca majalah. 
  5. Prosedur ini diulang di hari kedua dengan memperdengarkan lantunan Kitab Suci. 
Peneliti juga melakukan interview dengan menggunakan kuesioner untuk menggali beberapa informasi seperti seberapa sering mendengarkan musik, alasan mendengarkan musik, dan apakah mereka setuju bahwa mendengarkan lantunan Kitab Suci memberikan lebih banyak manfaat daripada musik. 

Hasil Penelitian Berdasarkan Laporan Peneliti

Hasil Interview
Delapan puluh persen (80%) partisipan mengaku bahwa mereka senantiasa mendengarkan musik, sementara 20% partisipan mengaku jarang. Alasan mendengarkan musik yang memiliki persentase terbesar adalah bosan (28%), disusul untuk kesenangan (26%) dan meredakan ketegangan (22%). Sementara 14% mendengarkan musik sebagai hobi dan 10 % mendengarkan musik karena sedih. 

Dari 28 partisipan tersebut, 97% setuju bahwa mendegarkan lantunan Kitab Suci memberi manfaat lebih besar daripada mendengarkan musik. 

Analisis Data EEG
Peneliti melaporkan partisipan no 11, 12, 23, 21, 25, serta mean dari tiap sesi, untuk tiap belahan otak untuk tiap intervensi. 

Partisipan no 11 dilaporkan mengalami keseimbangan gelombang otak alpha lebih besar ketika mendengarkan lantunan Kitab Suci dibandingkan ketika mendengarkan musik. Hasil yang sama juga tampak pada partisipan no 12. 

Partisipan no 23 menunjukkan penurunan gelombang otak alpha (yang menunjukkan kondisi makin tidak rileks) ketika mendengarkan musik, sementara mengalami kenaikan ketika mendengarkan lantunan Kitab Suci. 

Partisipan no 21 mengalami kenaikan gelombang otak alpha yang lebih besar ketika mendengarkan lantunan Kitab Suci dibandingkan ketika mendengarkan musik. 

Partisipan no 25 memiliki gelombang alpha yang stabil setelah mendengarkan lantunan Kitab Suci meskipun lebih kecil dibandingkan mendengarkan musik. Peneliti menyimpulkan dampak psikoterapi religius lebih bertahan lama. 

Perbandingan mean antara kedua intervensi, menunjukkan bahwa ketika mendengarkan musik klasik gelombang alpha pada otak kanan mengalami peningkatan sebesar 8.9%. Grafik yang ditampilkan juga menunjukkan keseimbangan gelombang alpha antara otak kanan dan kiri baik setelah mendengarkan musik maupun lantunan Kitab Suci. 

Besarnya korelasi antara besarnya gelombang alpha pada otak kanan dan kiri juga dipaparkan sebagai bukti keseimbangan antara otak kanan dan kiri akibat intervensi. Peningkatan nilai korelasi sebesar 12.67% terjadi ketika partisipan mendengarkan lantunan Kitab Suci, dibandingkan dengan peningkatan sebesar 9.96% ketika mendengarkan musik. 

Kesimpulan
  1. Peneliti menyatakan adanya efek dari kedua intervensi terhadap gelombang otak. 
  2. 12.67% sampel menunjukkan peningkatan gelombang alpha sebelum dan setelah mendengarkan lantunan Kitab Suci, sementara hanya 9.96% peningkatan ditemukan ketika mendengarkan musik.
  3. Mendengarkan lantunan Kitab Suci dapat menghasilkan kondisi yang lebih rileks dan meningkatkan perhatian (more alert). 

Kritik Saya terhadap Penelitian Ini

Ada beberapa kelemahan dalam penelitian ini yang membuat saya sangat meragukan kesimpulan yang diambil. Saya mengklasifikasikannya dalam beberapa kategori [3,4]: Validitas Kesimpulan Statistik, Validitas Internal, Validitas Konstruk, dan Validitas Eksternal.

Validitas kesimpulan statistik.
Pada dasarnya dalam kategori ini sebuah penelitian diuji apakah kesimpulan yang diambil mengenai ada/tidak adanya efek / korelasi, sudah benar.

Saya memfokuskan pada hasil analisis data EEG saja dalam kritik ini. Peneliti melakukan kesalahan sangat fatal dalam mengambil kesimpulan penelitian yang diperoleh. Kesalahan tersebut adalah kesimpulan hanya didasarkan pada data yang mendukung dugaan peneliti saja. Sementara, gejala umum yang terjadi sebenarnya tidak mendukung dugaan peneliti. Misalnya:

1. Gejala umum yang dilihat dari mean gelombang alpha menunjukkan mendengarkan lantunan Kitab Suci cenderung menurunkan frekuensi gelombang alpha. Berikut screen shot dari histogram yang dibuat oleh peneliti dalam artikelnya.


Jika kita melihat grafik batang di atas, trend umum yang terjadi ketika mendengarkan lantunan Kitab Suci adalah gelombang alpha yang makin kecil (menunjukkan keadaan yang makin kurang rileks). Sementara ketika mendengarkan musik klasik, pola gelombang alpha berbeda antara belahan kanan dan kiri.

2. Jika kita menghitung proporsi partisipan yang mengalami peningkatan, maka


dapat disimpulkan bahwa proporsi partisipan yang mengalami peningkatan frekuensi gelombang alpha cenderung lebih banyak ketika kelompok mendengarkan musik klasik.

Dengan melihat pada dua grafik deskriptif ini, kita sudah bisa melihat kecerobohan peneliti dalam mengambil kesimpulan mengenai data.

3. Kelemahan berikutnya terkait dengan tidak dilakukannya uji signifikansi dalam penelitian tersebut. Saya melakukan uji signifikansi terhadap data tersebut dan menemukan bahwa, ketika mendengarkan musik klasik, tidak ada perbedaan frekuensi gelombang alpha yang signifikan antara sebelum, saat mendengarkan, dan sesudah mendengarkan musik klasik. Pada saat mendengarkan lantunan Kitab Suci, terdapat perbedaan gelombang alpha yang signifikan antara:

  • Sebelum dan sesudah intervensi, pada belahan otak kiri: sebelum intervensi frekuensi gelombang alpha lebih tinggi daripada setelah intervensi. 
  • Pada saat dan sebelum intevensi, pada belahan otak kanan: sebelum intervensi, frekuensi gelombang alpha lebih tinggi daripada saat intervensi.
  • Sebelum dan sesudah intervensi, pada belahan otak kanan: sebelum intervensi frekuensi gelombang alpha lebih tinggi daripada setelah intervensi. 
Kesimpulan dari uji signifikansi tersebut menunjukkan bahwa mendengarkan lantunan Kitab Suci justru menurunkan frekuensi gelombang alpha yang merupakan indikasi kondisi partisipan makin tidak rileks. 

4. Dalam melakukan analisis korelasional antara belahan otak kanan dan kiri, peneliti hanya melaporkan besarnya peningkatan koefisien korelasi sebelum dan pada saat intevensi. Ketika mendengar musik klasik, peningkatan korelasi hanya 7.60% sementara ketika mendengar lantunan Kitab Suci terjadi peningkatan korelasi sebesar 12.67%. Peneliti tidak melaporkan penurunan korelasi yang terjadi setelah intervensi dilakukan. Penurunan korelasi setelah mendengarkan musik klasik hanya 6.02% sementara penurunan korelasi setelah mendengarkan lantunan kitab suci sebesar 11.18%. Peneliti hanya melaporkan bagian pertama untuk menunjukkan kelebihan dari mendengarkan lantunan kitab suci, sementara tidak melaporkan bagian kedua yang menunjukkan kelebihan musik klasik. (Catatan: angka 7.60 dan 6.02 merupakan hasil hitungan saya sendiri, karena hasil hitungan dalam penelitian tersebut berbeda dengan yang saya temukan). 

Kesalahan pengambilan kesimpulan ini sangat berbahaya karena mengarahkan orang untuk mempercayai adanya efek positif yang sebenarnya tidak ada atau yang sebenarnya bersifat negatif.  

5. Peneliti juga tidak mengendalikan variabel gender, padahal dalam beberapa studi ditunjukkan adanya perbedaan gelombang alpha antara laki-laki dan perempuan ([2]). Hasil analisis, oleh karena itu, berpotensi bias. 

Validitas Internal
Ada beberapa kelemahan penelitian dari segi ini:
  1. Peneliti tidak melakukan counter-balancing urutan pemberian intervensi, meskipun memberikan jarak antara intervensi pertama dan kedua. Urutan pemberian intervensi bisa menyebabkan keraguan adanya efek, misalnya efek pada intervensi kedua bisa muncul karena efek yang terbawa dari intervensi pertama atau adanya efek Maturasi. 
  2. Pemilihan partisipan juga kurang dijelaskan secara detil, misalnya apakah yang dipilih sebagai partisipan adalah mahasiswa yang beragama sama dengan acuan Kitab Suci yang dilantunkan. Selain itu familiaritas terhadap musik klasik nampaknya juga tidak dipertimbangkan dalam pengambilan partisipan. Agama dan familiaritas dapat berpengaruh terhadap hasil penelitian. 
  3. Lamanya intervensi yang ditetapkan tidak memiliki basis argumen yang memadai: apakah secara teoretik lamanya intervensi (5 menit) memadai untuk menimbulkan efek.
Validitas Konstruk 
Ada paling tidak satu isu dalam penelitian ini terkait dengan validitas konstruk, yaitu penggunaan intervensi yang terbatas: hanya lantunan dari satu kitab saja tetapi digeneralisasi pada lantunan Kitab Suci dan hanya satu musik klasik saja tetapi digeneralisasikan pada Musik Klasik secara umum. Kelemahan ini terkait dengan mono-operation bias [3,4]. 

Validitas Eksternal
Penelitian ini memiliki keterbatasan validitas eksternal karena jumlah subjek yang terbatas sekaligus pengambilan sampel yang terbatas. Saya sangat memahami kondisi ini yang dapat diakibatkan besarnya biaya untuk melakukan eksperimen.  



Kesimpulan

Penelitian yang dirancang sangat baik sekalipun tidak akan lolos dari kelemahan-kelemahan penelitian, karena adanya keterbatasan waktu, tenaga dan biaya. Namun demikian, dalam pandangan saya, peneliti dalam artikel ini tergolong sangat ceroboh, jika tidak dapat dianggap dengan sengaja membengkokkan hasil penelitian agar terlihat mendukung dugaan peneliti. Peneliti mengabaikan banyak fakta dalam hasil penelitiannya yang tidak mendukung dugaannya, dan melaporkan efek penelitian yang mendukung secara berlebihan. 

Selain itu, entah karena sengaja atau karena ketidakpahaman, peneliti menuliskan kesimpulan dengan memelesetkan temuan. Dalam temuan angka 12.67% terkait dengan peningkatan korelasi antara belahan otak kanan dan otak kiri, tetapi dalam kesimpulan disebutkan 12.67% sampel mengalami peningkatan gelombang alpha. Pernyataan seperti ini jelas misleading informasi mengenai hasil temuan. 

Laporan penelitian seperti ini tidak selayaknya diterbitkan atau dikonsumsi publik. 

Catatan

*Kata "Kitab Suci" merupakan pengganti nama kitab suci yang disebutkan spesifik dalam tulisan aslinya. Saya memutuskan tidak menuliskannya di sini untuk menghindari perdebatan tidak perlu terkait dengan isu agama. Saya hanya ingin berdiskusi tentang permasalahan metode penelitian dalam penelitian ini saja.

Referensi

[1] Canon D Major by Palchebel. 

[2] M Matsuura ,K YamamotoH Fukuzawa, Y Okubo, H Uesugi, M Moriiwa, T Kojima, Y Shimazono. (1985). Age development and sex differences of various EEG elements in healthy children and adults — Quantification by a computerized wave form recognition method. Clinical Neurophysiology. Vol 60 (5): 394 - 406. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/0013-4694(85)91013-2

[3] Shadish, W., Cook. T. D., & Campbell, D. T.(2002). Experimental and quasi-experimental designs for generalized causal inference. Boston: Houghton Mifflin Company. 

[4] Maxwell, S. & Delaney, H. (2004). Designing experiments and analyzing data : A model comparison perspective. New York, NY.: Psychology Press.

Selasa, April 26, 2016

Kisah Sebuah Pertanyaan di Kelas Siang

Saya teringat sebuah diskusi dengan seorang mahasiswa mengenai pertanyaan mengapa mahasiswa psikologi perlu belajar metode penelitian dan mengerjakan skripsi? Diskusi itu tidak hanya dilakukan di kelas tapi juga di kantor. Saya sangat menghargai keterbukaan mahasiswa tersebut menanyakan pertanyaannya, yang saya yakin sebenarnya juga ada dalam pikiran banyak orang, tidak hanya mahasiswa. Berikut adalah kisah pertanyaan tersebut dan jawaban-jawaban saya. Tentu saja kejadian sebenarnya tidak tepat seperti yang dikisahkan, jawaban-jawaban saya dalam artikel ini juga sudah melalui pemikiran yang lebih lama. 

Pertanyaan itu (Kalo dalam Bahasa Inggris: The Question)

"Pak, mengapa kita perlu menulis skripsi? Mengapa perlu belajar metode penelitian?",seorang mahasiswa bertanya dengan gamblangnya di sebuah siang, ketika kuliah seminar (semacam persiapan penulisan skripsi) berlangsung.

"Sebelum saya jawab, saya tanya dulu ya. Apa yang kamu bayangkan tentang psikologi ketika kamu memilih untuk kuliah di bidang psikologi?", demikian tanggapan saya.

"Ya, saya belajar tentang teori-teori psikologi dan bagaimana menerapkannya dalam praktek nyata," jawabnya.

"Bisakah memberikan contoh agar pendapatmu menjadi lebih jelas?", tanya saya.

"Misalnya begini, Pak," jawab mahasiswa tersebut,"Saya belajar tentang psikologi perkembangan anak. Dari sana saya mengetahui bahwa kita harus melakukan ini dan itu agar seorang anak dapat bertumbuh optimal. Kalau saya nanti bekerja sebagai guru atau psikolog anak, saya dapat menerapkan pengetahuan ini untuk menolong anak bertumbuh optimal."

"Jadi boleh dibilang kamu mengharapkan akan belajar teknik-teknik, cara-cara, dan semacam tips dan trik aplikasi psikologi, begitukah?", saya menyimpulkan.

"Ya kurang lebih begitu, Pak", jawabnya.

"Pertanyaan saya berikutnya: Bagaimana kamu tahu kalau apa yang diajarkan oleh dosen itu benar?", tanya saya.

"Yah, kan dosen sudah ahlinya, Pak. Bisa juga baca di buku apakah penjelasan dosen sudah sesuai dengan buku acuannya. Kan nggak mungkin lah, Pak, dosennya sembarangan ngajarnya", jawabnya.

"Ya. Berasumsi bahwa semua dosen dan penulis buku memiliki integritas, maka mereka pasti tidak akan sembarangan mengajar atau menulis. Nah, kalaupun asumsi ini benar, mereka juga punya keterbatasan dalam menggali sumber-sumber untuk mengupdate pengetahuan mereka. Sementara ilmu pengetahuan terus berkembang" jawab saya.

"Tapi apakah ini berarti mahasiswa harus mengupdate semua pengetahuan mereka dengan melakukan semua penelitian sendiri?" ia bertanya lagi.

"Tentu saja tidak. Kalau seperti itu entah kapan kamu akan menguasai bahkan hal paling dasar tentang psikologi", jawab saya.

"Jadi?", mahasiswa itu kembali bertanya.

Psikologi adalah Bagian dari Ilmu Pengetahuan

Psikologi adalah bagian dari Ilmu Pengetahuan. Ya, banyak orang akan bilang,"Saya tahu". Tapi mungkin banyak dari yang merasa tahu itu tidak menyadari konsekuensi dari pernyataan tersebut. Konsekuensi dari "Psikologi adalah bagian dari ilmu pengetahuan" adalah metode untuk memproduksi pengetahuan menjadi isu penting, sama pentingnya dengan pengetahuan yang ingin didapatkan.

Bahkan lebih jauh lagi, metode untuk memproduksi pengetahuan menjadi kriteria untuk menilai apakah pengetahuan yang dihasilkan dapat dipercaya atau tidak. Jika metode yang digunakan tidak baik, maka pengetahuan yang dihasilkan tentunya akan diragukan 'kebenarannya'. Ini berarti :

  1. Penilaian hanya dapat diberikan jika metode yang digunakan dalam memproduksi pengetahuan dipaparkan secara memadai. 
  2. Penilaian mengenai 'kebenaran' pengetahuan yang dipaparkan sangat bergantung pada 'kebenaran' metode yang digunakan. 
Kembali pada pendapat dosen atau ahli, dapatkah kita percaya pada kebenaran pendapat mereka? Jika pendapat mereka didasarkan pada metode yang tepat, maka tentu saja kita bisa mempercayainya. Dalam hal ini, pendapat dosen dan para ahli baru bisa dinilai 'benar' hanya jika mereka juga memaparkan metode memperoleh pengetahuan mereka. 

Bagaimana jika mereka mengacu pada sumber-sumber lain? 
Jika demikian adanya, maka penilaian mengenai 'kebenaran' pendapat mereka bergantung pada ketepatan penggunaan metode dalam sumber-sumber yang diacu. Ini berarti, jika kita hendak mengetahui apakah pendapat dosen atau para ahli itu benar, kita perlu membaca sumber-sumber yang menjadi acuan mereka juga. 


Metode Penelitian dan Berpikir Logis-Kritis

Nah, untuk bisa menilai apakah metode yang digunakan dalam sumber-sumber itu sudah tepat, perlu bagi mahasiswa untuk memahami metode penelitian. Dengan demikian, mahasiswa dapat menilai apakah pengetahuan yang mereka peroleh dapat dipercaya, dengan menilai apakah metode memperoleh pengetahuan tersebut sudah tepat. Lebih jauh, kelak setelah mereka lulus, mereka dapat menilai sendiri pengetahuan-pengetahuan yang akan mereka temukan dalam kehidupan mereka. 

Belajar metode penelitian juga mendorong mahasiswa berpikir logis dan kritis. Pilihan metode tertentu harus didasarkan pada pertanyaan apa yang hendak dijawab penelitian, hasil review literatur, dan hipotesis / pertanyaan penelitian yang diajukan. Kesimpulan dari hasil penelitian juga harus sesuai dengan metode yang digunakan. Misalnya, tanpa metode eksperimental, sulit sekali untuk mengambil kesimpulan mengenai hubungan kausal. Nah, dalam sumber-sumber yang dibaca tersebut, evaluasi mengenai apakah semua komponen ini sudah selaras dapat dilakukan mahasiswa, hanya jika ia menguasai metode penelitian.

Bagaimana dengan skripsi? 
Saya sendiri berpendapat bahwa Skripsi merupakan sarana pembelajaran metode penelitian yang cukup menyeluruh bagi mahasiswa. Di dalamnya mahasiswa tidak hanya belajar statistik saja, atau metode penelitian saja tetapi berusaha menggabungkan semua pengetahuan mengenai metode penelitian (dan kuliah terkait) di dalamnya. Untuk memilih satu metode misalnya, mahasiswa perlu mengetahui metode-metode alternatif dan argumen tidak memilih argumen metode alternatif tersebut. 

Skripsi juga memberi kesempatan pada mahasiswa untuk melatih kemampuan mengambil kesimpulan logis dari berbagai sumber yang dibaca dan dari data, memikirkan strategi yang paling tepat berdasarkan sumber bacaan, mengantisipasi pelaksanaan rencana, membangun argumen yang tajam namun sopan, mengkomunikasikan baik diri sendiri maupun hasil penelitian, dll. Banyak sekali ketrampilan yang dilatih dalam pengerjaan skripsi. 

Membaca Artikel Hasil Penelitian

"Tentu saja mahasiswa tidak akan diminta untuk melakukan semua penelitian untuk menjustifikasi informasi yang ia dapatkan. Mahasiswa bisa membaca artikel-artikel hasil penelitian dan mengevaluasi apakah informasi yang ia didukung oleh temuan-temuan terkini", saya menjelaskan kembali. 

"Dalam membaca hasil penelitian ini",saya melanjutkan,"perlu kiranya pembaca tidak hanya membaca bagian diskusi atau kesimpulan atau abstraknya saja - seperti yang sering dilakukan selama ini oleh banyak mahasiswa (dan akademisi juga). Metode penelitian merupakan bagian yang sama pentingnya dengan hasil penelitian untuk dibaca. Karena bagian metode inilah yang dapat digunakan untuk menilai apakah kesimpulan yang diambil oleh peneliti dapat dipertanggungjawabkan. Saya memiliki contoh penelitian yang sangat sembrono dalam menarik kesimpulan (bisa dibaca di sini)". 

Kerugian yang Ditimbulkan Pseudoscience

"Tapi, Pak. Mengapa kita perlu getol sekali mengejar informasi yang benar? Kalaupun tidak benar, tidak ada masalah serius kan, Pak? Misalnya ada yang menyebutkan bahwa musik klasik ciptaan mozzart dapat meningkatkan inteligensi. Kalaupun toh itu salah juga tidak ada masalah serius bukan?" tanya mahasiswa tadi. 

"Ada dua kerugian yang bisa ditimbulkan oleh informasi yang keliru, atau saya sebut dengan pseudoscience:
  1. Kerugian langsung baik dalam bentuk fisik, psikis, ekonomi, dll. Contoh paling konkret adalah praktek terapi yang keliru. Praktek terapi yang keliru bisa berujung pada bunuh diri, jika klien yang dilayani memiliki kecenderungan depresif berat. Atau bisa juga menyebabkan munculnya gangguan psikologis yang awalnya tidak diderita. Kasus lain misalnya terkait dengan kesaksian ahli yang berkontribusi menentukan nasib seorang terdakwa. Jika ahli tersebut memiliki informasi keliru, bisa terjadi seorang terdakwa yang berbahaya dilepaskan atau sebaliknya orang yang tidak bersalah masuk penjara. 
  2. Kerugian tidak langsung dapat berupa teralihkannya sumber-sumber daya yang seharusnya bisa dialokasikan pada usaha-usaha yang lebih berguna. Misalnya pada kasus efek mozzart: Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk meningkatkan gizi, yang jelas-jelas didukung secara ilmiah dapat meningkatkan inteligensi, akan teralihkan pada pembelian CD musik mozzart atau alat lain pendukungnya. 
Kerugian-kerugian seperti ini seringkali tidak terdeteksi karena psikologi berurusan dengan 'barang yang tidak kelihatan' yang dipengaruhi oleh banyak sekali faktor dan dampak yang tidak langsung. Oleh karena itu dampak dari kesalahan tidak segera dirasakan, karena 'tidak terlihat'. Selain itu, korban penderita dapat senantiasa dijadikan alasan penyebab ketidakmanjuran intervensi. Kita sering mendengar 'ahli' berkata,"Ya itu tergantung pada orang masing-masing," atau,"Semua ini kembali pada individu nya sendiri-sendiri", atau,"Klien, dalam ketidak-sadarannya, menolak intervensi", dan lain-lain."

Pengalaman dan Testimoni

"Tapi, Pak. Bukankah kita juga bisa belajar dari pengalaman?", tanya mahasiswa tersebut. 

"Benar. Tetapi pengalaman pribadi sangatlah terbatas dalam hal generalisasi dan kontrol terhadap bias. Jika saya melakukan intervensi tertentu, sangat manusiawi jika saya mengharapkan intervensi tersebut berhasil. Dan harapan ini akan berpengaruh pada penilaian saya mengenai keberhasilan intervensi, meskipun saya sudah berusaha jujur. 

Ada satu bab dalam buku 'House of Cards: Psychology and Psychotherapy Build on Myth' karya Robin M Dawes yang memaparkan kelemahan 'pengalaman' dalam menjustifikasi kebenaran informasi atau intervensi.

Hal yang sama juga dengan testimoni saya kira.

Itulah mengapa mahasiswa psikologi perlu belajar tentang metode penelitian. Untuk membekali dirinya sendiri agar terlindung dari pendapat 'ahli' yang keliru dan tidak berdasar, sekaligus melindungi masyarakat juga agar praktek psikologi dari lulusan psikologi tidak sembrono", jawab saya sekaligus menutup diskusi itu. 

Apa pendapatmu?

Minggu, April 17, 2016

Satu-Satunya Kertas Pertanyaan dalam Kotak Gawat Darurat Statistik

Setelah kurang lebih sebulan saya meletakkan Kotak Gawat Darurat Statistik (dan lebih dari 3 bulan saya membuat website http://www.psikologistatistik.blogspot.com/ ) hanya ada secarik kertas dalam kotak pertanyaan ini. Apakah harus prihatin (karena berarti minat mahasiswa untuk bertanya atau diskusi tentang statistik dan pengukuran memang kurang) atau senang (karena sudah tidak ada lagi yang perlu ditanyakan karena semua sudah jelas) masih menjadi permenungan saya. (ataukah saya begitu menyeramkan sehingga bahkan menulis surat saja sudah ketakutan?...hehe).

Sebelumnya saya minta maaf karena baru sekarang ini menuliskan jawabannya. Karena jujur saja pertanyaan yang diajukan oleh sang penanya cukup filosofis buat saya. Sayang sekali penanya tidak mencantumkan identitasnya, tapi Terima Kasih telah memberikan tanggapan yang cukup berarti.

Ada beberapa pertanyaan yang diajukan oleh sang penanya, dan saya akan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut sebaik mungkin :


1. Statistika itu apa?

Sebenarnya ini adalah pertanyaan keempat, tetapi saya jadikan pertanyaan pertama karena berkaitan dengan pemahaman mendasar tentang materi pertanyaan lain. Apa itu statistika? Pertanyaan ini pernah diajukan juga oleh seorang suami dari teman kerja saya juga. Statistika adalah cabang ilmu matematika yang berurusan dengan cara-cara/teknik-teknik pengorganisasian (sering berarti mereduksi) data dalam suatu bentuk yang lebih sederhana sehingga akan mudah untuk ‘dibaca’. 

Data yang kita peroleh dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi sangat banyak, sehingga dapat menimbulkan kebingungan jika tidak diorganisasikan. Misalnya sebagai mahasiswa anda memperoleh nilai untuk mata kuliah-mata kuliah yang telah diambil. Dalam satu semester anda bisa memperoleh 4-5 nilai. Dalam 2 tahun bisa diperoleh 16-20 nilai. Nilai-nilai itu tentu akan bervariasi, ada yang B, ada yang C bahkan mungkin D atau E. Jika anda ditanya bagaimana prestasi anda di bangku kuliah? Bagaimana menjawabnya? Apakah seperti ini: “Ya ada yang B ada yang C ada yang D, ada juga yang E.” ? Atau mungkin disebutkan semua nilainya? 

Tentu saja jika orang yang bertanya pada anda punya waktu cukup banyak untuk mendengar daftar nilai anda. Tapi ada cara yang lebih sederhana untuk ‘menceritakan’ prestasi anda. Dengan mencari rerata nilai anda dengan memperhitungkan jumlah sks yang telah diambil (yang kemudian disebut dengan IPK). Atau anda bisa juga menyebutkan nilai terbaik yang didapatkan dari semua mata kuliah yang telah diambil (nilai maksimal) atau nilai terburuk (nilai minimal). Dan banyak cara lainnya. Cara-cara untuk menyajikan data dengan sederhana inilah yang kemudian disebut dengan statistik. Well, semoga bisa menjawab pertanyaan di atas dengan memuaskan.


2. Kenapa kita butuh statistika?

Pertanyaan ini agak terjawab dengan penjelasan yang saya berikan di no 1. Mengapa kita butuh statistika? Karena di sekitar kita ada begitu banyak data kuantitatif (dalam bentuk angka) dan tentu saja kita tidak dapat mengelakkan diri dari data-data tersebut. Dan seringkali kita perlu menggunakan data tersebut atau menyajikannya baik pada diri sendiri maupun orang lain. Tidak jarang juga kita mengambil keputusan berdasarkan data tersebut.

Misalnya ketika kita akan memilih sebuah kelas yang diajar dosen A, kita merasa perlu tahu ‘medan perang’ dengan paling tidak bertanya-tanya pada orang yang pernah diajar dosen A. Atau kita bisa melihat track record dosen A tersebut dalam memberi nilai, apakah dia termasuk dosen pelit atau murah hati. Caranya? Tentu saja dengan melihat daftar nilai yang dikeluarkan dosen tersebut, dan membandingkan prosentase (baik secara intuitif maupun empiris) mahasiswa yang memperoleh A, B, C,D,dan E. Perbandingan ini akan kita jadikan dasar keputusan untuk mengambil kelas tersebut atau tidak. Bagi mahasiswa yang mencari tantangan (atau cari gara-gara?) tentu saja akan mengambil kelas yang prosentase A dan B jauh lebih kecil dari C.

Misalnya lagi, dalam sebuah polling mengenai isu reorganisasi lembaga kemahasiswaan, kita ingin tahu bagaimana sikap mahasiswa terhadap isu tersebut. Apakah secara umum mahasiswa setuju atau tidak setuju dengan adanya reorganisasi. Karena keterbatasan tenaga dan dana, maka yang ditanyai sikapnya hanyalah sampel dari mahasiswa. Setelah kita hitung proporsi yang setuju dan tidak, kita perlu mengetahui apakah dalam populasi juga berlaku proporsi yang ada dalam sampel. Maka kita perlu meminta bantuan statistika untuk menyelesaikannya.

Dan banyak lagi lainnya.


3. Gimana jadinya dunia ini tanpa statistika?

Wah… ini agak sulit jawabnya. Banyak sekali temuan ilmiah (khususnya dalam bidang psikologi yang saya tahu) didasarkan pada hasil analisis statistik, dari analisis yang sederhana sampai yang rumit. Kita mengenal tipe-tipe kepribadian yang muncul akhir-akhir ini (seperti Big 5 Personality Factor) karena adanya Teknik Analisis Faktor. Kita bisa mengembangkan tes kecerdasan dan menentukan tingkat kecerdasan dalam bentuk skor IQ karena adanya penggunaan mean dan standard deviasi, juga analisis kesalahan pengukuran.

Efektivitas terapi (baik psikologis maupun medis) seringkali juga dibuktikan dengan memanfaatkan analisis statistik.Selain itu juga adanya tingkat resiko penggunaan obat sebesar sekian persen, karena dibalik itu ada analisis statistik yang mengestimasi besarnya kemungkinan terjadinya resiko. Hal ini berlaku juga dengan crime rate, tingkat kematian ibu dan bayi, tingkat kecelakaan, resiko investasi, dsb.

Belum termasuk di dalamnya penelitian-penelitian yang berusaha mencari faktor yang dominan dari sekian banyak faktor yang ikut terlibat dalam mencetuskan wabah demam berdarah, yang memampukan kita untuk melakukan pencegahan wabah. Atau faktor yang ikut terlibat dalam terjadinya kenakalan remaja, sehingga kita bisa tahu apa yang perlu kita lakukan agar kaum muda kita tidak terlibat narkoba, dan kenakalan lain. Atau penelitian mengenai bahan-bahan tahan gempa dengan tingkat kelenturannya sendiri-sendiri. Dan masih banyak lainnya….

Can you imagine a world without such things?


4.Kenapa orang harus belajar statistika?

Tidak ada yang mengharuskan anda untuk belajar statistika. Anda bisa mengabaikannya. Tapi tentu saja statistika menjadi syarat agar bisa menyelesaikan kuliah di suatu program studi tertentu (misal psikologi).

Mengapa menjadi syarat di suatu program studi? Karena ada anggapan bahwa perkembangan ilmu di suatu program studi tersebut tidak dapat dilepaskan dari statistika. Temuan-temuan ilmiah yang diterapkan dalam ilmu tersebut banyak mendapat bantuan dari statistika. Pengujian efektivitas terapi, atau pengujian efektivitas pengajaran, dsb seringkali tidak dapat dipisahkan dari penggunaan teknik statistik.

Oleh karena itu, penting bagi orang-orang yang mempelajari ilmu tersebut, untuk mengetahui cara-cara yang telah dipakai untuk memperoleh ilmu yang mereka pelajari saat ini. Termasuk di dalamnya analisis statistik.

Harapan di balik itu tentu saja, agar kita bisa mengembangkan pengetahuan kita sendiri dengan baik, dan tidak terus menerus menjadi ‘budak pengetahuan’ atau ‘pelanggan tetap pengetahuan’ dari orang lain (atau bangsa lain). Kita harus bisa menjadi tuan atas pengetahuan ilmiah kita sendiri. Bisa kritis dan tidak terus menerus dibodohi oleh orang lain hanya karena kita benci angka.Ada orang bilang wah tes ini valid… ya ikut memakai, yang lain bilang terapi ini bagus… ya ikut-ikutan, dst. Ada yang bilang kos-kosan menyebabkan free sex… ya percaya saja, ada yang bicara tentang SQ-EQ-FQ-DQ-nanti mungkin ada QQ (kiyu-kiyu) ya kita manggut-manggut dengan takjub. Lalu kapan giliran kita yang bicara begitu?

Bagi saya pribadi, mempelajari statistika juga membantu dalam mendisiplinkan pola pikir. Baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan akademik. Misalnya berhati-hati dalam mengambil kesimpulan, khususnya tanpa data yang jelas. Atau tidak memegang asumsi secara berlebihan dengan pertimbangan tidak semua orang memegang asumsi yang sama, dsb.

Ya, tidak ada yang mengharuskan anda belajar statistika, tapi jika kita bisa memperoleh manfaat darinya mengapa tidak mencoba? Why don’t you give it a try?


5.Statistika sama Fisika enakan mana?

Saya tentu saja tidak bisa menjawab pertanyaan ini untuk anda karena masing-masing dari kita punya ketertarikan dan minat sendiri tentang dua bidang ilmu ini. Bagi saya keduanya jelas bidang ilmu yang sangat menarik dan mungkin saling terkait karena sama-sama menggunakan matematika sebagai ‘otak’nya.

Teman saya pernah bilang kalo sebuah bangsa ingin maju, maka bangsa itu harus menyukai paling tidak 3 hal : membaca, menulis, dan berhitung. (thanks …Seno)
Pesan saya cuma satu, jangan berhenti belajar hanya karena kamu tidak menyukainya. Kadang-kadang pelajaran paling berharga dalam hidup diperoleh dari pengalaman paling menyebalkan.

Well, it’s up to you boys / gals!

Jumat, April 08, 2016

Pandangan Saya Mengenai Statistik

Bagaimana saya memandang statistik? Apa itu statistik menurut saya?

Saya masih ingat guyonan seorang teman ketika membahas definisi statistik:" Ya sesuai namanya: Statis-tik. Isinya ya statis, dari dulu begitu-begitu saja".  Waktu itu saya setuju saja mengingat dari dulu kuliah statistik ya isinya itu-itu saja.

Banyak juga teman saya pada saat itu (dan mungkin sekarang juga) yang memandang statistik sebagai kumpulan rumus dan aturan-aturan yang 'jatuh dari langit'. Seakan-akan cara untuk melakukan analisis data sudah ditentukan dari 'sono-nya' dan tidak dapat diubah.

Selain itu banyak juga yang menganggap analisis statistik yang satu seakan berbeda sama sekali dari analisis yang lain, sehingga begitu banyak rumus dan definisi yang harus dihafalkan. Banyaknya jenis analisis ini membuat begitu banyak aturan yang harus diingat, dan tidak boleh dilanggar karena 'jatuh dari langit'.

Seiring berjalannya waktu, dengan bertambahnya buku, artikel yang saya baca dan juga pendidikan yang saya alami, dan pengajaran yang saya lakukan, pandangan saya mengenai statistik banyak berubah. Berikut ini adalah beberapa pandangan saya terhadap statistik saat ini.


Statistik adalah Alat

Sama seperti palu, obeng, jarum, dan pensil, statistik adalah alat, yang dibuat dan digunakan untuk memenuhi tujuan tertentu. Oleh karena itu, statistik hanyalah 'abdi' bagi suatu tujuan. Misalnya dalam konteks penelitian, tujuan penelitian-lah yang menjadi penentu teknik statistik yang akan digunakan, bukan sebaliknya.

Dalam praktek yang saya jumpai, seringkali teknik statistik menjadi lebih penting daripada tujuan penelitian. Misalnya, penilaian terhadap ke'layak'an penelitian sering didasarkan pada teknik analisis yang digunakan :"Rasanya nggak OKE kalau disertasi S3 tidak menggunakan Structural Equation Model"  misalnya. Atau penelitian yang dilakukan melulu berisi hubungan antara dua variabel, hanya karena wawasan teknik analisis statistiknya terbatas.

Pengguna statistik sering lupa bahwa yang perlu ditentukan pertama adalah menentukan apa yang akan dilakukan terlebih dulu, baru kemudian menentukan bagaimana-nya. Statistik, dalam konteks ini adalah salah satu dari 'bagaimana-nya' ini.

Pengguna statistik juga sering abai melakukan evaluasi terkait dengan kecocokan antara tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut. Seolah-olah teknik analisis yang 'keren' sudah menjadi justifikasi terhadap mutu kesimpulannya.

Sebagaimana alat pada umumnya, terkadang menggunakan alat yang sederhana menjadi lebih efisien daripada menggunakan alat yang lebih kompleks. Misalnya menghitung total belanja yang perlu dibayar seringkali sudah dapat dipecahkan menggunakan pensil dan kertas (bahkan kadang tanpa bantuan sama sekali). Kita tidak membutuhkan komputer dengan prosesor terbaru untuk melakukannya.

Demikian juga dengan statistik. Teknik analisis yang kompleks tidak selalu tepat dalam kondisi tertentu. Bahkan terkadang teknik analisis yang lebih kompleks menjadi tidak efisien dan tidak menjawab tujuan yang ingin dicapai.

Efektivitas dan efisiensi alat juga sangat tergantung pada pengetahuan dan ketrampilan pemakainya. Semakin banyak pengetahuan dan ketrampilan pengguna mengenai suatu alat, semakin optimal fungsi alat tersebut dalam mencapai tujuan. Bahkan dalam kondisi tertentu, alat yang sama bisa digunakan untuk memenuhi tujuan yang berbeda jika kita mengetahui prinsip-prinsip dasarnya.


Statistik berisi kumpulan ide-ide mengenai cara memperoleh informasi dari data

Statistik bukan kumpulan 'aturan' yang harus dipatuhi. Rumus-rumus teknik analisis statistik selalu berasal dari ide untuk menggali informasi dari data. Memandang statistik sebagai kumpulan aturan akan membuat seolah-olah teknik-teknik analisis data menjadi kaku, misalnya rumus analisis A itu ya seperti itu. Kalau mau melakukan analisis A, lakukan dengan cara begitu, dst. Padahal teknik analisis selalu berasal dari kumpulan pemikiran mengenai kondisi data, dan melibatkan asumsi untuk menyederhanakan kondisi riil data agar memudahkan dalam analisis.

Teknik analisis statistik tertentu seringkali atau hampir selalu didasarkan pada 'teori' atau cara pandang terhadap data. Tidak jarang saya temui, 'filosofi' ahli yang menyusun teknik analisis statistik sangat mempengaruhi cara analisis yang disusunnya. Misalnya ahli-ahli yang percaya bahwa nyaris tidak ada data riil yang mengikuti distribusi normal akan lebih banyak menawarkan teknik analisis yang 'robust' terhadap pelanggaran bentuk distribusi, dst. Secara khusus dalam teknik analisis pengukuran, teori atau cara pandang ahli terhadap, misalnya, bagaimana skor dihasilkan oleh seorang individu, akan mempengaruhi teknik analisis yang disajikan. Karena pandangan ahli terhadap data bisa berubah, demikian juga teknik analisis statistik pun ikut berubah dan berkembang.

Statistik oleh karena itu menjadi sangat aktif berkembang mengikuti cara pandang terhadap data dari orang-orang yang mempelajarinya. Statistik oleh karenanya tidak statis.

Tidak jarang juga cara pandang yang berbeda ini dapat menghasilkan teknik-teknik analisis yang bisa memberikan hasil analisis yang mirip. Oleh karena itu satu teknik analisis dapat dipertukarkan dengan teknik analisis lain.


Garbage in Garbage out

Teknik analisis statistik yang paling maju sekalipun memiliki keterbatasan. Salah satu keterbatasannya adalah ketidakmampuan statistik dalam mengolah data yang buruk untuk menghasilkan kualitas analisis yang baik. Misalnya jika pengukuran yang digunakan dalam pengambilan data memiliki banyak kesalahan pengukuran, statistik akan tetap memberikan hasil analisis yang tidak menggambarkan realitas.

Ketika asumsi yang mendasari suatu analisis statistik dilanggar, tentu saja analisis akan memberikan hasil yang tidak dapat dipercaya.

Teknik analisis statistik bukan satu-satunya penentu kualitas suatu hasil. Bagaimana data diperoleh, desain penelitian yang dirancang, termasuk kajian teoretik yang dilakukan, menentukan mutu dari hasil analisis.


Pemahaman akan statistik tidak sama dengan pemahaman akan cara pengoperasian software analisis data

Kehadiran banyak sofware analisis data yang user-friendly membuat banyak orang sering tergoda untuk mengabaikan dasar pemahaman analisis statistik dan menggantikannya dengan ketrampilan untuk mengoperasikan software tersebut. Seolah-olah pemahaman teknik analisis statistik identik dengan pemahaman cara mengoperasikan software.

Pandangan ini menjadi sangat berbahaya karena dapat menyebabkan terjadinya misused atau abused teknik analisis statistik. Tanpa pemahaman yang baik akan teknik analisis statistik tertentu, pengguna akan memiliki resiko yang lebih besar untuk salah menggunakan teknik analisis tersebut.
Misalnya, melakukan analisis regresi dengan menggunakan program tertentu sangatlah mudah. Sehingga dengan mudah juga peneliti dapat memasukkan atau mengeluarkan variabel dari keseluruhan analisis tanpa pertimbangan yang matang. Atau menggunakan metode 'step wise' yang sebenarnya sering dianggap tidak sepantasnya dilakukan.
Contoh lainnya terkait dengan praktek analisis faktor. Sering saya jumpai, teman-teman yang melakukan analisis faktor dengan menggunakan program tertentu, melakukan kesalahan dalam memilih teknik estimasi yang digunakan karena mengandalkan default dari software tersebut.

Selain itu, dalam menyusun algorithm dari suatu teknik analisis, tidak jarang pembuat software analisis statistik melakukan kekeliruan atau memiliki keterbatasan atau menggunakan paradigma yang berbeda, sehingga dapat terjadi kekeliruan analisis, atau adanya keterbatasan opsi-opsi yang ditawarkan. Tanpa memahami teknik analisis nya sendiri , peneliti akan memiliki kesadaran yang rendah akan resiko kesalahan hasil analisis atau peneliti akan memaksakan suatu teknik tertentu tanpa memperhatikan kesesuaian teknik tersebut terhadap kondisi datanya sendiri.


Teknologi berkembang dan akan berdampak pada cara pengumpulan data, struktur data dan pada akhirnya analisis data

Perkembangan teknologi yang tak terhindarkan telah banyak menyebabkan revolusi dalam teknik pengumpulan data dan struktur data. Dulu, kita masih berurusan dengan data berjumlah ratusan atau ribuan. Saat ini data dapat mencapai angka jutaan atau ratusan juta. Misalnya dalam penelitian mengenai gen manusia, penelitian neuroscience, dan lain-lain.

Data tidak lagi dikumpulkan menggunakan paper-pencil test, bahkan tidak hanya dengan tes lagi dalam segala bentuknya. Interaksi antara manusia dengan komputer atau halaman suatu website sudah menghasilkan jutaan data.

Struktur data tidak lagi lengkap seperti dulu, tetapi dapat mengandung sangat banyak missing value.

Dalam perkembangan seperti ini, makin besar kebutuhan cara-cara menganalisis data yang dapat menangani data seperti itu. Oleh karena itu pemahaman akan dasar-dasar statistik sangat penting agar kita dapat mengembangkan teknik-teknik yang dapat menjawab tantangan ini.


Belajar statistik = Belajar berpikir

Belajar statistik bagi saya merupakan sarana belajar berpikir kritis, runtut, logis, dan berdasar data.  Belajar statistik membuat  kita belajar memaknai data dengan bertanggung jawab, berhati-hati agar tidak melakukan interpretasi berlebihan, tahu keterbatasan dari metode-metode yang digunakan sehingga waspada akan keterbatasn interpretasi hasil analisis dan dampaknya.

Seringkali interpretasi analisis statistik tidak semudah yang selama ini dibayangkan. Kehati-hatian sangat diperlukan dalam melakukan interpretasi dan memutuskan apakah hasil analisis bisa dipercaya. Karena prinsip-prinsip statistik tidak berasal 'dari langit', maka pasti punya kelemahan. Nah belajar statistik dan mengamati kelemahan-kelemahan ini dan tahu keterbatasan tiap analisis membuat saya makin kritis dan tidak terima begitu saja hasil analisis dari metode yang 'canggih' sekalipun. Dan mengajari saya banyak juga tentang bagaimana berpikir yang 'bener'.

Jadi bagi saya belajar statistik itu juga belajar berpikir yang 'bener', menunda kesimpulan supaya tidak meloncat, dan pada akhirnya menjadi bijak, semoga...