Sabtu, September 15, 2007

Uji Asumsi 1 Revised : Isu Seputar Uji Normalitas

Saya sempat ingin merevisi secara langsung post saya mengenai Uji Asumsi 1 karena ada beberapa pemikiran tradisional di sana yang menurut saya kurang pas sekarang, seperti pemilihan nilai signifikasi. Tapi kemudian saya putuskan untuk menulis satu post sendiri agar pembaca bisa membandingkannya dengan post saya terdahulu, sehingga tahu mana yang saya anggap kurang pas. Saya dengan sengaja juga mengubah tanggal post terdahulu supaya bisa berdekatan dengan post yang ini, dengan harapan bisa mengurangi diskontinuitas pembahasan.

Jadi ada masalah apa dengan post terdahulu?

Memilih Nilai Alpha

Dalam post terdahulu saya menuliskan bahwa taraf signifikasi yang digunakan untuk menguji asumsi normalitas sebaran adalah 0,05. Ini adalah taraf signifikasi yang sering juga digunakan dalam praktek penelitian selama ini. Pemilihan taraf signifikasi sebesar ini kurang tepat. Alasan utamanya terkait dengan error tipe II. Saya akan membahas singkat mengenai error tipe I dan II dan hubungan antara keduanya sebelum mengajukan pendapat saya mengenai berapa besar taraf signifikasi yang bisa dipakai.

Error dalam pengambilan keputusan

Ketika kita mengambil keputusan terkait dengan penolakan hipotesis nol, kita selalu akan melakukan satu di antara dua tipe error ini. Tipe error I adalah tipe error yang paling sering kita jumpai (kita sering menganggapnya sebagai taraf signifikasi:"signifikan dengan taraf..."). Dinyatakan juga dengan lambang alpha merupakan besarnya kemungkinan kita menolak hipotesis nol yang benar. Misalnya begini, dalam sebuah penelitian untuk menguji efektivitas pelatihan, peneliti melakukan uji statistik dengan alpha sebesar 0,05. Setelah dilakukan analisis, ditemukan bahwa hipotesis nol ditolak dengan alpha sebesar 0,05. Ini berarti sebenarnya kita masih punya kemungkinan atau kans melakukan kesalahan sebesar 5% bahwa sebenarnya hipotesis nol yang kita tolak itu benar. Jadi seharusnya kita tidak menolak hipotesis nol ini. Nah karena kemungkinan melakukan kesalahan ini 'hanya' 5%, maka kita masih cukup pede untuk berpegang pada kesimpulan bahwa hipotesis nol ditolak.
Tipe Error II diberi lambang Beta adalah kemungkinan kita gagal menolak hipotesis nol yang seharusnya ditolak. Maksudnya begini, dalam penelitian tadi misalnya ternyata hipotesis nol gagal ditolak. Ketika hipotesis nol gagal ditolak, sebenarnya keputusan ini juga memiliki kemungkinan error, bahwa sebenarnya mungkin saja hipotesis nol seharusnya ditolak.

Mari saya beri ilustrasi mengenai Tipe Error II. Ilustrasi ini sering saya pakai di kelas : Pada suatu hari tertangkaplah seorang maling. Setelah diinterogasi, si maling mengaku kalau dia adalah mahasiswa Universitas ANU. Dia tidak membawa kartu pengenal apapun. Kemudian dia ditanya nomor mahasiswanya untuk dicocokkan dengan nomor mahasiswa di universitas ANU. Kemudian dia menyebutkan dengan benar sebuah nomor mahasiswa. Pertanyaan yang muncul: benarkah orang ini salah satu mahasiswa universitas tersebut? Asumsi di balik perilaku menanyakan nomor mahasiswa mungkin kurang lebih seperti ini: kecil kemungkinan orang yang bukan mahasiswa sebuah universitas mengetahui secara tepat nomor mahasiswanya, apalagi pas dengan nama mahasiswanya. Jadi kita gagal menolak bahwa orang ini bukan mahasiswa universitas ANU.Tapi sebenarnya orang ini mengetahui nama dan nomor mahasiswa dari KTM yang dia temukan dalam dompet yang dia copet. Jadi seharusnya kita menolak hipotesis nol yang menyatakan orang ini adalah mahasiswa ANU, tapi kita gagal menolaknya.

Demikian juga dengan Tipe error II. Tipe error II terjadi ketika seharusnya kita menolak hipotesis nol tapi gagal menolaknya.

Hubungan antara Tipe error I dan Tipe error II. Tipe error I dan II saling bertolak belakang. Maksudnya jika kita memperkecil Tipe error I maka secara otomatis tipe error II akan menjadi lebih besar. Sayangnya sampai sekarang kita belum dapat menentukan dengan pasti (dengan cara yang mudah) besarnya tipe error II yang dibuat dalam suatu penelitian. Jadi sampai sekarang aturan ini yang dipegang. Semakin kecil kita menentukan Tipe error I, maka makin besar kemungkinan kita melakukan tipe error II.

Terus pilih mana Tipe error I atau II? Karena kita nggak mungkin terlepas dari kedua error ini (memperkecil yang satu memperbesar yang lain), maka kita harus memilih error yang kita ijinkan menjadi lebih besar. Misalnya begini : kita ingin menentukan apakah seseorang memiliki kecenderungan bunuh diri atau tidak. Kita memiliki data mengenai perilaku-perilaku yang menunjukkan kemungkinan orang yang akan melakukan bunuh diri. Ketika kita melihat seseorang melakukan perilaku-perilaku ini, kita harus memilih untuk menganggap orang ini termasuk orang yang akan bunuh diri tapi sebenarnya tidak (gagal menolak hipotesis nol yang seharusnya ditolak, tipe error II), atau menganggap orang ini baik-baik saja tapi sebenarnya akan bunuh diri (menolak hipotesis nol yang benar, tipe error I). Jadi pemilihan tipe error I atau II sangat terkait dengan resiko apa yang akan kita tanggung dengan melakukan kesalahan ini.
Mana yang lebih baik menyatakan suatu terapi itu dapat membuat perbedaan antara yang menerima dan yang tidak padahal tidak ada efeknya (menolak hipotesis nol yang benar,tipe error I) atau menganggap terapi ini tidak efektif padahal sebenarnya dapat membuat perbedaan (gagal menolak hipotesis nol yang salah)?

Hubungannya dengan Uji Asumsi?
Begini : dalam uji asumsi kita ingin membuktikan apakah sebaran data yang kita miliki itu mengikuti kurve normal atau tidak. Dalam hal ini hipotesis nolnya berbunyi: "tidak ada perbedaan antara sebaran data yang kita miliki dengan sebaran data yang normal". Jika p lebih kecil dari alpha yang kita tentukan maka kita akan menolak hipotesis nol ini sehingga disimpulkan data kita tidak normal. Jika p lebih besar dari alpha yang kita tentukan kita akan gagal menolak hipotesis nol, sehingga disimpulkan data kita normal.
Nah dalam kasus ini, mana yang lebih riskan: melakukan tipe error I (menganggap data kita tidak normal padahal normal) atau melakukan tipe error II (menganggap data normal padahal tidak normal). Menurut pendapat saya jauh lebih riskan melakukan tipe error II daripada tipe error I. Jika kita menentukan alpha yang kecil, berarti beta akan semakin besar. Dengan kata lain makin besar kemungkinan kita menganggap data kita normal padahal tidak normal.
Kita tahu bahwa normalitas sebaran merupakan salah satu asumsi yang mendasari pengujian parametrik, sehingga kita perlu memiliki keyakinan cukup besar mengenai kondisi data kita yang sebenarnya. Oleh karena itu akan lebih baik jika kita memperbesar nilai alpha menjadi 0,10 (dengan demikian memperkecil beta). Sehingga data kita baru bisa dianggap normal jika p lebih besar dari 0,1.

Rasanya memang sedikit aneh karena kita terbiasa menguji dengan taraf 0,05 untuk segala macam bentuk hipotesis. Tapi demikian pendapat saya dan alasan saya menggunakan taraf 0,1 untuk menguji hipotesis nol terkait dengan asumsi normalitas.

Fiuhh.... baiklah untuk menghilangkan kepenatan teman-teman bisa melihat klip yang kereeen abeees berikut ini:
Il divo dan Celine Dion

2 komentar :

Anonim mengatakan...

makasih pak, di saat genting begini, saya menemukan solusi tentang uji nrmalitas, terutama ujia t-test karena saya kurang menguasai di statistik. terima kasih, blog ini sangat membantu saya untuk belajar lebih mendalam tentang statistik, ternyata statistik menyenangkan. Btw, Il Divo dan Celine Dion nya keren banget, bapak ternyata penggemar Il Divo juga...hehehe... Tuhan Memberkati. Semoga semakin maju dan sukses blog ini. Kapan dibukukan pak??? keren statistik nya...

Unknown mengatakan...

Wah sama-sama... Terima kasih untuk feedback nya. Semoga blog ini bisa membantu anda juga semua orang lainnya.

Iya nih saya penggemar beratnya Celine Dion sebenarnya. Nah dalam klip ini saya 'berkenalan' dengan Il Divo. Ternyata suaranya juga nggak kalah hebatnya.

Untuk bukunya, mohon doa restunya ya. Saat ini sedang dalam fase review (untuk ketiga kali setelah ditolak dua kali hehe...). Semoga yang ketiga ini bisa berhasil diterbitkan.

Salam.