Rabu, September 19, 2007

Nol Mutlak : Apa Maksudnya?

(kisah berikut ini hanya rekaan. Jika ada nama orang atau tempat yang sama itu hanyalah kebetulan belaka)

Alkisah seorang mahasiswa bertanya kepada dosennya:"Apa sih perbedaan antara Variabel Interval dan Ratio? Apakah hanya ada atau tidaknya nilai nol?"

Sang dosen pun mengangguk-angguk setengah mengantuk (karena semalam baru saja main game PC terbaru). Dengan gaya Kogoro Tidur sang dosen pun menjawab,"Ya perbedaan utamanya terletak pada nilai nol mutlak."

"Tapi apa maksudnya nilai nol mutlak? Bukannya semua pengukuran interval ya punya nilai nol?" mahasiswa ini mengejar.
"Benar. Bisa dibilang semua skala pengukuran interval memiliki nilai nol, tetapi bukan nilai nol mutlak", dosen itu hening sejenak.
"Lalu?" mahasiswa itu bertanya lagi, kuatir ditinggal tidur oleh sang dosen.
"Nilai nol mutlak itu maksudnya...jika suatu atribut memiliki kuantitas sebanyak nol, maka dapat dikatakan atributnya tidak ada atau nol...nihil...zip. Selain itu jika atribut tersebut diukur dengan menggunakan berbagai macam unit pengukuran yang berbeda-beda hasilnya akan tetap nol", dosen pun mulai membuka mata seolah telah kembali dari dunia yang lain.
"Maaf, Pak. Bisakah memberi contoh?" mahasiswa itu bertanya lagi.
"Ng...contohnya...jam berapa sekarang?" tiba-tiba sang dosen bertanya. Mahasiswa itu sedikit gelagapan melihat jam tangannya, tidak menyangka akan ditanya seperti itu.
"Eh...anu pak...jam 12 siang. Bapak ada janjian? atau mengajar?"
"Oh...nggak. Cuma heran saja kok sudah lapar...", jawab sang dosen tanpa merasa bersalah,"ternyata memang jamnya makan siang."
Mahasiswa pun hanya bisa diam, bengong tidak percaya apa yang dilihatnya,"Ini nih dosen yang dibilang pinter statistik?" pikirnya dalam hati.

"Contohnya begini",sang dosen sekarang mulai pasang tampang serius,"Contoh klasik tapi sangat manjur. Suhu. Misalnya kita mengukur suhu dengan menggunakan derajat celcius. Dalam skala ini tentu saja ada nilai nol derajat celcius bukan? Tapi nol derajat celcius tidak berarti tidak ada suhu sama sekali. Memang sih dingin buangett tapi bukan berarti tidak ada suhu sama sekali. Buktinya? Kalau kita menggunakan unit pengukuran yang lain, misalnya Fahrenheit maka kita akan mendapatkan angka 32 derajat. Oleh karena itu suhu termasuk dalam skala interval bukan ratio karena nilai nolnya bersifat relatif. Nilai nol dalam derajat celcius hanya berarti satu derajat lebih rendah dari 1 derajat celcius".
Mahasiswa sekarang manggut-manggut, mulai mengerti...sepertinya...


"Berbeda dengan berat," sang dosen melanjutkan,"berat memiliki nilai nol mutlak. misalnya ada meja dengan berat nol kilogram. Nilai nol disini benar-benar bermakna nol, tidak ada, meja itu tidak memiliki berat sama sekali, nol. Selain itu jika kita menggunakan unit pengukuran yang lain, misalnya pon atau ons, semua akan mengatakan hal yang sama bahwa berat meja ini nol pon atau nol ons. Dalam hal ini berat memiliki skala pengukuran ratio karena memiliki nilai nol mutlak."

Mahasiswa itu pun mengangguk-angguk mengerti. Dalam hatinya ia mulai mengakui kalo dosen ini mungkin memang layak dianggap pinter statistik.
Ia pun menjawab,"Oh begitu ya,Pak. Ya ya saya mengerti sekarang.Terima kasih ya,Pak"
"Ya, anytime," jawab dosen itu.
"Cieh sok kebarat-baratan banget,"pikir mahasiswa itu.
"Saya pamit dulu ya,Pak. Lain kali saya tanya-tanya lagi", mahasiswa itu pun pamit.
"Eh tunggu sebentar."
"Iya,Pak?"
"beli capcay yang enak deket kampus di mana ya?"

Siang itu beberapa mahasiswa berbincang dekat lorong fakultas, sementara sang mahasiswa masih bingung dalam hatinya,"benarkah dosen ini pinter statistik?".....

30 komentar :

DQ mengatakan...

sangat menarik..
bisa digunakan untuk memfamiliarkan statistik bagi sebagian mahasiswa yang menganggapnya sebagai momok..

Anonim mengatakan...

Terima kasih pak Dicky. Tujuan saya memang ingin agar statistik yang tadinya jadi momok yang menakutkan bagi mahasiswa menjadi suatu yang lebih menarik.

Agung Santoso

Anonim mengatakan...

kayaknya saya kenal tu,pak sama mahasiswanya

hwakakakakakakakakakakakaka

thx bgt ya,pak

Anonim mengatakan...

saya mau bertanya..
kenapa sih...kalau mau menghitung statistik, psikometri, dan teman-temannya lebih baik menggunakan calculator casio tipe fx-3600??
padahal kalau mau cari yang tipe itu sekarang sudah sulit.
saya sendiri terus terang bingung tentang apa yang sebenarnya dicari waktu saya memasukkan data2 ke dalam calculator.
kalau2 koh agung bisa bantu..
wah...
saya semangat sekali..
apalagi saya menjadi tahu apa yang harus dilakukan nantinya.
sebelumnya..
terima kasih ya sudah boleh numpang bertanya kepada koh agung..
c-u..

Anonim mengatakan...

sayang sekali anda tidak menyebutkan nama. Tapi terima kasih sudah menyempatkan diri menulis pertanyaan.

Sebetulnya kalkulator manapun asal kalkulator scientific dapat digunakan. saat ini banyak sekali merk dan model yang dijual di pasaran, yang dapat digunakan untuk menghitung statistik. Jadi tidak ada yang mengharuskan atau menganggap kalkulator fx-3600 lebih baik.

Sejauh dapat menghitung mean, standard deviasi, dan korelasi. beberapa kalkulator justru lebih canggih karena dapat memunculkan grafik. Jadi kalkulator yang manapun tidak masalah.

Memang jika kita menggunakan kalkulator 'biasa' yang non scientific, akan kerepotan ketika harus menghitung korelasi dengan cepat karena tidak memiliki fungsi ini. Jadi harus dilakukan dengan manual. Dengan kalkulator scientific perhitungan korelasi, standard deviasi, dan mean dapat dilakukan dengan lebih cepat.

Saat ini juga sudah banyak dipasarkan program untuk menghitung statistik yang jauh lebih canggih dan dapat melakukan analisis yang lebih rumit.

Yang perlu diingat, semua alat ini ya hanya alat. mereka hanya bisa menyajikan hasil. Kitalah yang memegang kendali. Jadi perlu untuk memahami konsep di balik analisisnya bukan sekedar dapat menghitungnya.

Anonim mengatakan...

wah, saya berterima kasih sekali karena saya sudah mendapat jawaban dari pertanyaan yang saya ajukan.
saya belum tahu lagi apa yang harus saya tanyakan. jadi sekali lagi, saya ucapkan terima kasih...

Anonim mengatakan...

Saya seorang mahasiswa yang sedang melakukan penelitian dengan judul
"Pengaruh Pelatihan terhadap peningkatan produktivitas kerja karyawan"

Dalam penelitian ini saya memutuskan untuk menggunakan program SPSS 16.0
Saya sudah membeli buku SPSS 16.0 yg diterbitkan Pustaka Pelajar dan ditulis oleh
Hartono

Variabel penelitian Saya :

X = Pelatihan (kemudian dibagi menjadi X1, X2, X3)
Yaitu :
X1= On the job
X2= Vestibule
X3= Demonstration and example

Y = Produktivitas

Namun saya menemukan beberapa kebingungan dalam memakai cara cara yang ada
didalam buku tersebut. Yaitu :

1. menghitung korelasi ganda/parsial dengan menggunakan 3 prediktor (pengaruh
X1, X2, X3 terhadap Y),
Apakah bisa dihitung langsung dengan menggunakan SPSS

2. Untuk uji signifikasi koefisien korelasi ganda (Uji F),
Apakah menggunakan Anova 1 arah atau 2 arah ?

3. Untuk Uji t, apakah saya harus menggunakan Test t untuk sampel-sampel yang
berkolerasi, atau
apakah saya harus menggunakan Test t untuk sampel-sampel yang tidak berkolerasi

Kalau bisa Saya minta no HP atau Emailnya donk, untuk konsultasi

Terima kasih

Unknown mengatakan...

Terima kasih untuk tanggapan dan pertanyaannya. Sayang saya nggak tahu nama anda ya.

mengenai alamat email bisa dilihat di profile saya. mungkin saat2 ini email jauh lebih efisien menurut saya.

terkait dengan masalah yang diajukan:
1. Sebenarnya masalah penelitian ini bisa didekati dengan menggunakan anava satu jalur (kalo di SPSS one way anova), tidak harus menggunakan regresi. Saya kurang tahu apa alasan anda menggunakan regresi untuk analisis datanya.
2. Sebenarnya hanya ada satu variabel independen di sini. yaitu pelatihan. Nah pelatihan ini memiliki 3 treatment level, X1, X2 dan X3. Treatment level ini bukan variabel. Nah jika menggunakan regresi, treatment level ini memang dijadikan 'dummy variable'. Jadi bukan variabel sebenarnya.
Jadi karena hanya ada 1 variabel yang digunakan adalah anava 1 jalur (one way anova).
3. Kalo boleh tahu kenapa menggunakan t-test? Karena jika anda sudah menggunakan anava 1 jalur dan post hocnya, maka tidak lagi perlu dilakukan t-test.
Tapi jika memang ingin dilakukan t-test, pertanyaan saya adalah apakah X1 sampai X3 itu kelompok yang berbeda atau satu kelompok diberi perlakuan 3 kali? Jika itu kelompok yang berbeda, yang digunakan adalah t-test sampel yang tidak berhubungan. Kalo kelompok yang sama, yang digunakan adalah t-test sampel yang berhubungan.
keterangan selengkapnya bisa dilihat di posting saya mengenai t-test.

Daunlontar Books Pane mengatakan...

Pak, tanya ya
Saya barusan baca artikel yg kira2 begini isinya:
"Penjumlahan interval tidak sama dengan penjumlahan ratio. Misalnya, 100C + 100C tidak sama dengan 200C."
Saya jd bingung. Lalu total score dari kuesioner yang itemnya interval semua itu ada artinya gak? Atau memang pengambilan keputusan hanya bisa berdasarkan rerata-nya saja?

Thanks bgt
Arie

Unknown mengatakan...

Saya sepertinya kurang setuju dengan pendapat tersebut. Menurut saya penjumlahan dalam interval maupun ratio itu sama prosesnya. kalau 100 + 50 sama dengan 150. 150 derajat C itu 50 derajat lebih panas daripada 100 derajat C. Meja dengan panjang 150 cm lebih panjang 50 cm daripada meja dengan panjang 100 cm.

Perbedaan utama antara interval dan ratio terletak pada operasi perkalian dan pembagian.
Dalam skala ratio, meja dengan panjang 150cm itu memiliki panjang yang sama dengan 1,5 x meja dengan panjang 100cm.

Sementara dalam skala interval, besi dengan panas 150 derajat C tidak sama dengan 1,5 x panasnya besi 100 derajat C. Ini diakibatkan tidak adanya skor mutlak. Penjelasan ini dapat dilihat dalam pembahasan mengenai nol mutlak di atas.

Doko mengatakan...

Mas, saya dan teman-teman pengin belajar statistik by spss. apa Mas Agung mau memberi pelatihan spss ke kami-kaim ini?

Doko mengatakan...

Mas, saya dan teman-teman pengin belajar statistik by spss. apa Mas Agung mau memberi pelatihan spss ke kami-kami ini?

Unknown mengatakan...

untuk mas doko,
saya bersedia memberikan pelatihan. Selama ini saya memikirkan hal itu, tetapi agak ragu juga apakah ada yang berminat untuk ikut.
Kalau ada usulan tempat atau acaranya saya terima dengan senang hati, termasuk materi apa saja yang dibutuhkan misalnya.

Saya tunggu kabarnya.

Anonim mengatakan...

saya mau bertanya, kalau saya akan melakukan studi populasi, metode apa yang saya lakukan?? apakah tryout terpakai atau yang lainnya? tlong bimbingannya...
mungkin da referensi yg perlu saya baca? terimakasih...

Unknown mengatakan...

Maaf saya agak bingung dengan pertanyaannya. Apa yang dimaksud dengan studi populasi? apakah ini berarti semua subjek dalam populasi akan diambil sebagai data?

Jika ya, maka pertanyaan berikutnya apa pertanyaan penelitiannya?

Mengenai tryout terpakai atau bukan, ini tidak ada kaitannya dengan apakah studinya mengambil seluruh populasi atau hanya sampel.

Chowlijia mengatakan...

pak agung, saya mw nanya untuk suatu penelitian korelasi itu cara perhitungan minimal sample size dari suatu populasi itu kyk gmn ya ?
klo misalkan variabel bebasnya 2 dan variable tergantung 1
terima kasih

Unknown mengatakan...

Untuk Chowlijia,

Untuk besarnya sampel ada beberapa cara untuk menentukannya. Sejauh yang saya tahu penentuannya terkait dengan prediksi mengenai kekuatan hubungan antar variabel dan taraf signifikasi yang digunakan.

Biasanya ada rule of thumb untuk menganjurkan jumlah subjek sebanyak 10 kali jumlah variabel. Ada juga yang mengatakan minimal 30 subjek. Tapi pada dasarnya semakin banyak makin baik.

Nah saran saya sendiri ada baiknya untuk mengambil sampel sebanyak yang bisa dilakukan. Jika ini studi yang terkait dengan populasi khusus yang heterogen, maka jumlah subjek seharusnya makin banyak lagi.

Chowlijia mengatakan...

terima kasih ya pak atas jawabannya
klo blh saya nanya untuk statistik parametrik sama non-parametrik itu bedanya di mana ya Pak ?
saya masih agk kurang di dalam pemahaman tersebut
terima kasih pak

Unknown mengatakan...

Menurut saya parametrik - non parametrik terkait dengan persyaratan distribusi data. maksudnya statistik parametrik adalah statistik-statistik yang mensyaratkan distribusi data memenuhi bentuk tertentu. Sementara untuk non-parametrik adalah statistik yang tidak mensyaratkan bentuk distribusi data tertentu.

Chowlijia mengatakan...

terima kasih byk pak atas jawabannya
saya sdh mulai mengerti
sekali lagi terima kasih

Anonim mengatakan...

Pak, saya mau tanya...dalam pembuatan skala, khususnya dalam membuat item, kenapa ada item yang harus gugur? apa item itu tidak baik atau seperti apa? apakah perlu di uji cobakan berulang kali hingga didapat item baik dan item tidak baik. terimakasih sebelumnya. saya mahasiswa bapak mata kuliah SEMINAR sem 7 inisial "A" angkt 08 USD

Unknown mengatakan...

untuk A,
tidak ada yang mengharuskan item untuk gugur. Analisis item dilakukan bukan untuk menggugurkan item tetapi untuk mengecek apakah item-item dalam skala kita sudah baik atau belum.

Kalau ada yang tidak baik maka item itu perlu diperbaiki atau digugurkan.Nah jika item itu diperbaiki, maka perlu untuk diujicobakan lagi untuk dicek lagi apakah item yang sudah diperbaiki ini sudah baik atau belum.

Unknown mengatakan...

Pak Agung, baru2 ini saya mengikuti pelatihan tentang rasch model dan saat ini mengalami banyak kebingungan. Dalam pelatihan tersebut skala likert hanya menghasilkan data ordinal, betulkah itu?
Yg kedua, dalam pelatihan tersebut mengklasifikasikan IQ juga sebagai data ordinal, bagaimana pendapat Pak Agung?
Yg ketiga, selain temperatur, adakah contoh lain dr jenis data interval?

Unknown mengatakan...

Untuk yang bertanya tentang jenis data dari skala Likert,

Mungkin yang perlu diperjelas terlebih dulu adalah alasan dan bukti bahwa data yang dihasilkan oleh model skala Likert dan IQ berupa data ordinal. Jadi mungkin ada baiknya ditanyakan alasan / argumen dan bukti yang menunjukkan demikian.

Terkait dengan IQ, dari yang saya ketahui ada dua cara memperoleh IQ:
1. Menghitung rasio dari mental age dengan chronological age (seperti dalam tes Binet yang lama). Cara ini memang tidak lagi digunakan sepertinya dalam tes-tes IQ saat ini. Dengan cara ini saya ragu apakah data yang diperoleh adalah ordinal. Dalam pemikiran saya seharusnya IQ yang diperoleh paling tidak berjenis interval.
2. Menggunakan norma IQ dengan mean = 100 dan standard deviasi = 15. Penghitungan skor IQ diawali dengan memperoleh jumlah dari banyaknya item yang dapat dijawab testee (terkadang ada item yang memiliki rentang skor lebih dari nol dan satu seperti dalam WAIS III). Skor total tersebut kemudian ditransformasi ke dalam nilai IQ agar memiliki mean = 100 dan sd = 15 tadi dan mengikuti distribusi normal. Dengan demikian, paling tidak diyakini bersama bahwa skor IQ merupakan data interval karena dianggap mengikuti distribusi normal.

Terkait dengan skala Likert, saya pernah membaca tulisan Likert sendiri tentang model yang diajukannya. Ia berasumsi bahwa respon seseorang terhadap suatu pernyataan (item) akan mengikuti distribusi normal (yang berarti respon seseorang merupakan data interval). Nah, skor yang didapatkan dari kategori respon merupakan batas atas dari skor atribut yang diukur untuk orang-orang yang memiliki kategori respon tertentu. Dalam proses yang seharusnya dilalui, peneliti seharusnya melakukan perhitungan banyaknya testee yang menjawab kategori respon tersebut yang kemudian ditransformasi ke nilai Z. Namun, dalam prakteknya memang banyak yang tidak melalui proses tersebut dengan menggunakan temuan bahwa penetapan skor untuk kategori respon tanpa proses pembobotan memiliki korelasi yang tinggi dengan skor jika melalui proses pembobotan.

Nah jika asumsi di atas (bahwa IQ dan respon subjek berdistribusi normal) itu benar, maka saya rasa tidak terlalu berlebihan untuk menganggap IQ dan skala Likert merupakan data interval.

Permasalahannya memang belum ada pembuktian bahwa skor IQ dan respon skala Likert mengikuti distribusi normal (atau memiliki data interval). Ini adalah kritik utama yang dilakukan oleh Joel Michell misalnya.

Unknown mengatakan...

Lanjutan dari komentar tentang skala Likert:

Nah jika dirunut lebih jauh, mengapa hal ini perlu dipermasalahkan? Ini juga salah satu hal yang mungkin perlu ditanyakan oleh anda pada pembicara tersebut. Ada dua keberatan yang mungkin diajukan terkait dengan menganggap data ordinal sebagai interval:
1. Jika data dari skala Likert berupa data ordinal dapatkah dijumlahkan? Jika dapat bagaimana distribusi (atau jenis data) dari skor totalnya? Jawaban saya boleh saja dijumlahkan. Tentu saja kita perlu berhati-hati dengan pemaknaan dari hasil penjumlahannya. Jawaban saya didasarkan pada kenyataan bahwa beberapa uji non-parametrik melakukan perbandingan mean rank (rerata urutan) dari data untuk dibandingkan (untuk mencari rerata peneliti tentunya perlu mencari dulu jumlah urutannya).

Saya ingat ada seorang teman yang pernah berargumen: kalau si A dalam item 1 menjawab tidak setuju (skor 1) lalu dalam item 2 menjawab tidak setuju juga (skor 1), maka jumlahnya adalah 2. Apakah ini berarti ia memiliki sikap yang netral (skor 2)? Jawabannya tentu tidak. Skor 2 yang diperolel oleh si A ini berasal dari dua item bukan 1 item. Oleh karena itu jika ingin melihat 'posisi' sikapnya maka perlu dibagi dua terlebih dulu bukan hanya melihat jumlah dua item itu saja.

Lalu bagaimana dengan distribusi dari hasil penjumlahannya? Central Limit Theorem menyebutkan bahwa mean (atau jumlah) dari skor (tanpa memandang distribusinya) akan semakin mendekati distribusi normal ketika jumlah komponen yang direrata (dijumlahkan) makin banyak. Ini berarti meskipun data skala likert berupa data ordinal (oleh karenanya tidak berdistribusi normal), tetapi hasil penjumlahannya akan mengikuti distribusi normal jika jumlah item yang dijumlahkan makin banyak. Dengan dasar ini saya cukup meyakini bahwa skor total skala Likert mendekati distribusi normal.

Unknown mengatakan...

Lanjutan dari komentar tentang skala Likert:

2. Terkait dengan penggunaan teknik analisis yang berasumsi data mengikuti distribusi normal: Beberapa penulis seperti David C Howell dan Nunnally menyatakan bahwa meskipun data tidak berdistribusi normal (atau tidak memiliki data interval), penggunaan beberapa statistik tetap menunjukkan hasil yang informatif. Contoh: saya melakukan korelasi product moment antara jenis kelamin (data nominal) dengan tinggi badan. Jika saya melakukan uji t pada data yang sama (membandingkan tinggi badan antara laki-laki dan perempuan), maka nilai p yang dihasilkan dari uji korelasi product moment dengan uji t akan persis sama. Selain itu, saya bisa memperoleh besarnya nilai t yang saya hanya dengan menggunakan nilai r pada analisis pertama dengan menggunakan formula tertentu.

Contoh berikutnya saya dapatkan dengan melakukan simulasi. Saya membuat data simulasi 10 item yang responnya mengikuti distribusi normal tetapi saya pilah menjadi 5 kategori (seperti Likert). Kemudian data 10 item tersebut saya jumlahkan dan skor totalnya saya korelasikan dengan data lain yang jelas-jelas berjenis interval dengan dua teknik: spearman dan product moment. Hasil analisis menunjukkan selisih yang kecil sekali antara dua teknik tersebut. Jadi sekalipun saya memperlakukan data ordinal sebagai interval, analisis tidak memberikan hasil yang jauh berbeda.

Fakta lainnya terkait dengan Rasch Model: skor total merupakan 'sufficient statistics' untuk mengestimasi abilitas seseorang dalam rasch model. Maksudnya untuk mengestimasi abilitas seseorang, informasi yang diperoleh dari skor total sudah mencukupi. Ini berarti tidak dibutuhkan informasi lain untuk melakukan estimasi abilitas seseorang. Hal ini diperkuat dengan besarnya korelasi antara skor total dengan estimasi abilitas menggunakan rasch model (r kurang lebih sebesar 0.97). Artinya: peneliti akan memperoleh kesimpulan yang sama mengenai abilitas seseorang baik ia menggunakan skor total maupun Rasch model.

Tentunya, ini tidak berarti Rasch model tidak memiliki nilai tambah. Rasch model memungkinkan melakukan analisis-analisis lain yang sekiranya tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan skor total. Hanya saja klaim mengenai ke-ordinal-an data dari skor IQ dan skala Likert belum disertai argumen yang memuaskan bagi saya.

Unknown mengatakan...

Pak apa kelebihan dari skala interval dibanding skla nominal dan ordinal

Cutiepai mengatakan...

Terimakasih! Benar-benar menarik dan kesimpulannya mudah didapat,saya jadi lebih paham hehe

Endah Rosita Dewi mengatakan...

Pak, berarti nilai siswa dari soal yang kita berikan termasuk skala rasio ya Pak? soalnya kalau siswa dapet nilai 0, ya itu berarti mutlak. tidak bisa diubah untuk bisa jadi 76 dengan cara yang berbeda?

Kamila Safar mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.