Jumat, Oktober 19, 2007

Kalo Bukan Nol Terus Berapa?

Kisah ini masih saja fiktif. Nama orang atau peristiwa di dalamnya hanya rekaan saja. Tidak dimaksudkan untuk mengacu pada orang tertentu dalam kehidupan nyata. Jika ada kejadian atau nama yang sama ada yang memang disengaja tapi juga ada yang hanya kebetulan saja.


"Wah lagi pada ngapain mereka?" tanya Dodik pada temannya. Ia menunjuk pada sekelompok mahasiwa bersama dosen mereka di sebuah lapangan.
"Mungkin kuliah mengenai training atau dinamika kelompok kali," jawab temannya acuh tak acuh.
"Saya ke sana ah, mau lihat apa yang mereka kerjakan," kata Dodik.
Setelah mendekat, ia melihat mereka seperti akan bermain lempar tongkat kayu dengan beberapa ukuran. Ia juga mengenali dosen itu, Pak Agung, pengajar statistik di fakultas psikologi.
"Dalam kelas tadi ada yang bertanya: Jika uji signifikasi hanya bicara bahwa sampel berasal dari populasi yang parameternya bukan nol, lalu parameternya berapa? Begitu bukan?" Pak Agung setengah berteriak di tengah lapangan. (baca kisah Pak Bondan dalam posting sebelumnya).
"IYA PAAAAAAK," jawab kelompok mahasiswa itu serentak.
"Waduh saya ngajar anak TK ternyata ya..."kata Pak Agung disertai gelak tawa kelompok mahasiswanya.
"Nah kita bisa mengestimasi berapa besarnya parameter dalam populasi dengan menggunakan teknik yang namanya
Confidential Interval(CI). Kalau di Indonesiakan ya kurang lebih Interval Kepercayaan gitu kali ya. Estimasi yang dihasilkan dari teknik ini berupa sebuah range nilai terkecil dari parameter sampai terbesar yang mungkin muncul dalam tingkat kepercayaan tertentu..."dosen itu terdiam sejenak melihat mahasiswanya memandang dengan penuh tanya.
"Oke oke... teknik ini seperti jawaban kita terhadap pertanyaan berapa jam perjalanan Semarang-Jogja? Jawabannya?" dosen itu bertanya pada mahasiswa.
"ya kurang lebih 3 sampe 5 jam, Pak" jawab seorang mahasiswanya.
"Nah CI itu kurang lebih seperti itu. Kita tidak memberikan hasil estimasi berupa satu angka saja, tetapi berupa interval seperti: ya antara 3 sampe 5 jam tadi." Pak Agung menjelaskan.
"OOOOO...." sekali lagi mereka merespon dengan kompak.
"haeeeehhh... mahasiswa jaman sekarang...," Pak Agung menanggapi disambut tawa mahasiswanya.
"Terus gimana caranya,Pak?" tanya seorang mahasiswa.
"Caranya dengan menggunakan rumus ini:


parameter yang diestimasi = statistik estimasi +/- (distribusi acuan x standard error)


Parameter yang diestimasi merupakan batas bawah dan batas atas yang mungkin muncul dalam tingkat kepercayaan tertentu. Nilai ini yang akan memberikan jawaban berapa parameternya kalau bukan nol."
Para mahasiswa sibuk mencatat rumus dan penjelasan Pak Agung. Sementara Dodik memilih diam dan mendengarkan dari kejauhan. Ia nampaknya mulai berminat dengan materi ini.
"Nah statistik estimasi merupakan estimasi parameter dalam sampel. Misalnya kita mengestimasi korelasi dalam populasi, statistik estimasi ini berupa korelasi dalam sampel kita. Kalau kita mengestimasi perbedaan mean, statistik estimasi ini berupa perbedaan mean dalam sampel kita." Pak Agung berjalan mondar-mandir sambil memainkan tongkat yang dipegangnya bergaya drumer terkenal.
"Standard error merupakan standard deviasi dari statistik yang kita peroleh. Misalnya standard deviasi dari mean dihitung dengan membagi standard deviasi populasi dengan akar kuadrat dari besarnya sampel :
Nah kalau distribusi acuan... hmm bagaimana menjelaskannya ya?" Pak Agung diam sejenak berpikir sementara sekian pasang mata melihatnya berharap penderitaan mereka segera berakhir dengan dimulainya permainan.
"Distribusi acuan dapat dianggap juga sebagai nilai kritis dari suatu uji statistik dengan taraf signifikasi tertentu. Misalnya jika kita menguji perbedaan mean maka kita menggunakan uji t sebagai uji statistiknya. Oleh karena itu distribusi acuannya berupa distribusi t. Nah anggaplah kita ingin menguji dengan taraf signifikasi 5%, maka distribusi acuan akan memiliki nilai sebesar nilai kritis dari tabel t dengan taraf signifikasi 5%. Tentunya kita juga perlu melihat besarnya sampel untuk melihat tabel ini. Akan saya jelaskan nanti."wajah-wajah penuh keputus-asaan mahasiswanya diabaikan Pak Agung begitu saja sambil terus memainkan tongkat yang dipegangnya.

"Baiklah, kita akan mencoba sebuah contoh. Misalnya kita mengambil sampel dari populasi mahasiswa di Universitas ini. Anggap saja sampel kita representatif terhadap populasinya. Nah, kemudian kita mengukur tinggi badan mahasiswa dalam sampel ini dan menghitung meannya. Misalnya kita mendapat mean sebesar 167 cm. Pertanyaannya berapa sih sebenarnya mean tinggi badan di populasi, bukan begitu?" tanya Pak Agung.
"Begituuuu..." jawab mahasiswa-mahasiswanya.
Pak Agung cuma menggelengkan kepala sambil mengelus dada, sementara mahasiswanya tertawa lagi.
"Kemudian kita menerapkan rumus yang saya berikan tadi. Anggap saja kita menggunakan distribusi nilai Z dulu ya supaya mudah. Nah pertama yang kita lakukan adalah menghitung standard error dari meannya. Oke sekarang dihitung!" Pak Agung memberi instruksi.
Para mahasiswanya segera menghitung, sampai beberapa menit kemudian mereka celingukan karena bingung. Seorang di antaranya bertanya,"Maaf Pak, standard deviasi populasinya berapa ya?"
"Ah akhirnya ada yang sadar juga. Ya kalian nggak mungkin bisa ngitung standard error mean kalo nggak tahu standard deviasi populasi dan besar sampel to?" Pak Agung tersenyum penuh kemenangan. Kali ini dia yang berhasil mengecoh mahasiswanya.
"Wah tiwas mumet mumet nih ternyata dikerjain," beberapa merespon.
"Bukan ngerjain tapi ngetes pemahaman,"jawab Pak Agung,"Nah sekarang anggap saja besar sampelnya 100 orang, dan standard deviasi populasinya 20. Sekarang coba hitung standard error meannya."
Beberapa saat para mahasiswa hening mengerjakan. Ada yang mengerjakan dengan serius sendirian, yang lain berkelompok berdiskusi. Entah diskusi soal yang dikerjakan atau diskusi mengenai kapan kuliah berakhir atau film terbaru yang akan diputar.
"Dua, Pak," seorang mahasiswa menjawab.
"OK. standard error meannya dua. Ada yang berbeda jawabannya?" tanya Pak Agung.
Mahasiswa yang lain menggeleng. Entah mereka menemukan jawaban yang sama atau menggeleng karena tidak tahu.
"Baiklah. CI biasanya berurusan dengan proporsi di antara dua nilai kritis Z yang sama besarnya. Satu di sebelah kiri satu di sebelah kanan. Nah jika kita ingin menghitung CI sebesar 95%, berapa banyak harus kita potong dari sebelah kiri dan kanan?"
"5% Pak...eh salah 2,5%" jawab seorang mahasiswa
"Ya kita potong di sebelah kiri 2,5% begitu juga di kanan. jadi yang tersisa di tengah tinggal 95%. Kalo digambar akan seperti ini:


gambar 1. Confidential Interval 95%


"Sekarang kita akan mencari nilai kritis Z dengan proporsi 2,5% di sebelah kiri dan kanan. Semuanya buka tabel yang saya berikan di awal semester. Yang nggak bawa liat temannya. Kalo temannya nggak bawa juga silahkan berdoa."

"Dalam membaca tabel kita perlu berhati-hati dengan aturan main yang ditetapkan si pembuat tabel. Ada beberapa yang mencantumkan proporsi dari nilai Z tertentu dari mean (lihat gambar 2, bagian yang berwarna hijau). Yang lain mencantumkan proporsi di sebelah kiri dari nilai Z tertentu (lihat gambar 3, bagian yang berwarna hijau).


gambar 2 proporsi nilai Z dari mean




gambar 3 proporsi di sebelah kiri nilai Z


Nah anggap saja kita menggunakan tabel yang menyajikan proporsi di sebelah kiri dari nilai Z. Kita akan melihat nilai kritis Z yang memiliki proporsi sebesar 2.5%. Berapa besarnya nilai Z ini?"
Suara kertas dibolak-balik pun terdengar. Ada yang benar-benar mencari ada yang pura-pura mencari sambil menundukkan kepala seolah sibuk, padahal takut ditunjuk....biasa taktik mahasiswa.
"Ada yang tahu?" tanya Pak Agung lagi.
" negatif 1.96 Pak,"jawab seorang mahasiswa.
"Yang lain setuju?" tanya Pak Agung.
Para mahasiswa pun mengangguk-angguk seolah setuju dengan jawaban temannya.
"Oke, gimana kok bisa dapet segitu?"Pak Agung bertanya lagi. Sepertinya dosen satu ini memang gemar bertanya...atau gemar melihat mahasiswanya cemas?
"Begini Pak,"jawab Ivan salah satu mahasiswa pandai di kelas,"Kita mencari dulu proporsi 2.5% dalam tabel ini. Lalu melihat berapa besarnya Z yang tercantum di kolom paling kiri dari tabel, lalu melihat besarnya Z perseratus dalam baris paling atas."
"Oke oke tolong ditunjukkan di depan,"kata Pak Agung sambil menempelkan tabel Z yang besar di papan.
Ivan pun maju menjelaskan:


tabel distribusi normal
(dibuat dengan bantuan MS Excell)


"Pertama kita cari angka 0.025 dalam tabel dulu. setelah ketemu kita lihat di kolom paling kiri. Di sana tertulis -1.9, kemudian kita lihat ke baris paling atas, di sana tertulis 0.06. Nah ini berarti nilai Z dengan proporsi 0.025 adalah -1.96."
"Baik. Semua sudah cukup jelas?" tanya Pak Agung.
Semua mengangguk, ada beberapa mahasiswa yang mencoba mencari sendiri dalam tabel mereka.
"OK terima kasih Ivan,"kata Pak Agung sambil mempersilahkan Ivan duduk lagi,"Nah kita baru menemukan nilai Z di bagian kiri dari kurve normal. Lalu berapa nilai Z di bagian kanan kurve normal yang proporsinya 2,5%?" sambil menunjuk pada gambar 1 pada bagian paling kanan kurve normal.
"1.96 ya,Pak?" tanya Ana ragu.
"Yang lain setuju?" tanya Pak Agung pada seluruh kelas.
Beberapa nampak bingung sementara yang lain masih mengecek tabelnya sambil mengernyitkan dahi.
"Karena kurve normal itu simetris maka bagian di sebelah kanan dan kirinya itu sama besarnya. Jadi bagian di sebelah kanan dan kiri kurve akan memiliki nilai Z yang sama hanya saja berbeda tandanya. Maksudnya kalau di bagian kiri akan bertanda negatif, sementara di bagian kanan akan bertanda positif" sambil berulang kali menunjuk pada daerah berwarna hijau dalam gambar 1.
Mahasiswa pun mengangguk-angguk.
"Baik sekarang kita sudah tahu statistik estimasi, distribusi acuannya, dan standard error meannya. Nah silahkan sekarang dihitung CI nya." Pak Agung memberikan instruksi.
Mahasiswa pun sibuk menghitung. Beberapa menggunakan hp sebagai kalkulator, beberapa yang lain menggunakan kalkulator biasa, yang lain menggunakan kalkulator scientific, yang lain lagi bengong karena tidak membawa kalkulator.
"Rangenya antara 163.08 sampai 170.92, Pak." jawab Nita.
"Oke. Ada yang punya pendapat berbeda?" tanya Pak Agung pada kelas.
Semua mahasiswa diam sambil menggeleng. Sepertinya mereka setuju dengan jawaban Nita.
"Tapi apa artinya angka itu Pak?" tanya Parjo.
"Itu berarti kita memiliki keyakinan sebesar 95% bahwa range tersebut mengandung mean populasi. Atau dengan kata lain jika kita mengulang estimasi kita ini terus menerus, maka 95% dari estimasi kita itu mengandung mean populasi."
"Ini berarti tetap ada kemungkinan estimasi kita dalam bentuk interval ini meleset dari mean populasi sebenarnya?" tanya Darius.
"Ya benar. Sangat mungkin interval yang kita dapatkan saat ini benar-benar meleset dari mean populasi. Kemungkinan melesetnya sebesar...?" Pak Agung sengaja berhenti sejenak menunggu jawaban mahasiswanya.
"Lima persen pak?" sahut Ivan.
"Ya sebesar lima persen." jawab Pak Agung.
"Nah baiklah sekarang kita coba hitung estimasi mean populasi jika kita menggunakan CI 99%." kata Pak Agung.
Mahasiswa pun mulai menghitung lagi. Beberapa mulai merasa kepanasan di alam terbuka sehingga memilih duduk dekat pepohonan. Yang lain menutupi kepalanya dengan buku. Yang lain cuek saja menghitung tugas yang diberikan.
"Baik jawabannya?"tanya Pak Agung kemudian.
"Intervalnya dari 161.86 sampai 172.14" jawab Darius.
"Yang artinya?" tanya Pak Agung lagi.
"Kita memiliki keyakinan sebesar 99% bahwa estimasi interval mean ini mengandung mean populasi..."jawab Ninung. Ia terdiam sejenak merasa ada yang aneh dengan pernyataannya sendiri.
"Tapi Pak, kenapa tingkat keyakinannya makin besar kok intervalnya juga makin besar. Bukannya harusnya kita makin yakin ya rangenya makin kecil? makin akurat gitu pak?" tanya Ninung.
"Ini pertanyaan yang keren abis...ada yang bisa jawab?" tanya Pak Agung.
Mahasiswa seperti biasa berpura-pura sibuk berdiskusi sambil membaca buku sehingga kemungkinan ditunjuk oleh Pak Agung makin kecil. Sebenarnya ini usaha sia-sia karena Pak Agung selalu membawa senjata saktinya tiap kali mengajar: absensi.
"Coba Duwi, apa pendapatmu?" Pak Agung memulai terornya.
"Ng...", Duwi pun toleh kanan-kiri memohon belas kasihan teman-temannya,"Apaan?" tanyanya berbisik.
Yang ditanyapun hanya dapat menggeleng sambil berusaha tetap menyembunyikan kepalanya.
"Baiklah Duwi, coba ambil tongkat ini", kata pak Agung mengakhiri penderitaan Duwi.
"I..iya pak" , jawab Duwi sambil bergerak mengambil tongkat yang disodorkan Pak Agung.
"Sekarang misalnya saya meminta kamu melempar tongkat ini ke tonggak di sana, seberapa yakin bahwa tongkat ini akan mengenai tonggak itu?", tanya Pak Agung sambil menunjuk ke sebuah tonggak sejauh 3 meter di depannya.
"Wah saya nggak terlalu yakin,Pak. Saya nggak pinter maen lempar-lemparan", jawab Duwi.
"Oke, sekarang kalo kamu saya kasih tongkat ini", kata Pak Agung sambil menyodorkan tongkat yang jauh lebih pendek dari yang diterima Duwi tadi,"seberapa yakin bahwa lemparanmu mengenai tonggak itu?"
"Waduh,Pak. Yang segini aja susah apa lagi yang sekecil ini", jawab Duwi.
"Bisa nggak saya bilang kalo tingkat keyakinanmu sekarang lebih kecil daripada melempar dengan tongkat yang tadi?" tanya Pak Agung.
"I...iya, Pak", jawab Duwi.
"Baik sekarang kamu saya beri tongkat pramuka ini", kata Pak Agung sambil mengambil tongkat pramuka dan memberikan pada Duwi,"berapa besar keyakinanmu sekarang?"
"Wah... kalo ini sih saya lebih yakin kalo kena,Pak", jawab Duwi.
"Jadi bisa dikatakan tingkat keyakinanmu lebih besar sekarang?" tanya Pak Agung.
"Iya,Pak", jawab Duwi masih belum bisa menangkap arah pembicaraan Pak Agung.
"Nah saya baru mendemonstrasikan jawaban terhadap pertanyaan Ninung. Ada yang mau mencoba memformulasikannya?" tanya Pak Agung.
"Bisa dikatakan semakin besar interval estimasi mean makin yakin kita kalau interval itu akan 'mengenai' mean populasi begitukah,Pak?" tanya Ninung.
"Ya ... ya saya pikir saya ngerti, Pak. Itu kayak kita makin yakin bakal dapet ikan kalo pake jala yang lebih besar, sementara kalo pake pancing keyakinan kita makin kecil. Gitu ya?" tanya Yanti.
"Bisa juga analoginya seperti itu", kata Pak Agung,"Atau juga bisa seperti ini. Misalnya suatu hari ada peristiwa rumah kemalingan. Nah polisi akan mengejar maling ini dengan menyisir area dari tempat kejadian perkara. Anggap saja kita memiliki tenaga yang mencukupi untuk menyisir. Nah, besar radius daerah yang disisir, makin besar keyakinan kita untuk menangkap maling itu. Begitu?"
Mahasiswa pun mengangguk-angguk. Beberapa berpikir,"kita panas-panas begini cuma buat belajar ini?"
"Nah pertanyaannya sekarang, bisa nggak metode ini digunakan untuk menguji hipotesis nol?" tanya Pak Agung.
Mahasiswa yang sudah tenang mulai gelisah lagi. Segera membuka buku-buku lagi, pura-pura diskusi, apapun yang bisa dilakukan agar nampak sibuk. Entah mungkin tidak ada lagi yang bisa dilakukan lagi, sehingga taktik lama yang sudah tidak efektif ini tetap saja dilakukan.
"Misalnya ada kasus begini: seseorang mengaku bahwa dia adalah mahasiswa USD. Tinggi badannya 180 cm . Nah kamu diminta memecahkan masalah ini, membuktikan apakah benar dia mahasiswa USD hanya dari tinggi badannya saja. Kita akan menggunakan standard error yang tadi sudah kita temukan tadi", kata Pak Agung.
"Jadi benarkah orang ini mahasiswa USD?" tanya Pak Agung.
Mahasiswa pun mulai berdiskusi. Beberapa saling ngotot dengan jawaban mereka sendiri. Yang lain pasif mendengarkan argumentasi ilmiah teman-temannya sambil membayangkan makan siang mereka nanti.
"Ada yang bisa jawab caranya?" tanya Pak Agung.
"Saya nggak yakin sih,Pak. Tapi saya coba. Kita menghitung 95% CI dari tinggi badan orang itu. Nah kalau intervalnya tidak menangkap mean populasi bisa dibilang orang ini berasal dari populasi lain selain populasi mahasiswa USD", jawab Irwan.
"Ya...ya. Betul", kata Pak Agung," Nah misalnya mean tinggi badan dari populasi mahasiswa USD 165cm. Buktikan apakah orang itu berasal dari populasi mahasiswa USD atau bukan."
Mahasiswa mulai sibuk menghitung dan berdiskusi kembali. Argumentasi ilmiah dan non-ilmiah pun terjadi di antara mereka.
"Saya memiliki keyakinan sebesar 95% bahwa... Silahkan teruskan", kata Pak Agung lagi.
"Saya memiliki keyakinan sebesar 95% bahwa mean populasi ada di antara interval 176.08 sampai 183.92", kata Tanto.
"Oke... terus jawaban terhadap permasalahannya?" tanya Pak Agung.
"Bisa dikatakan saya memiliki keyakinan sebesar 95% bahwa orang tersebut tidak berasal dari populasi mahasiswa USD." jawab Jaya.
"OK. Keren sekali", kata Pak Agung. Ia terlihat puas dengan jawaban mahasiswanya ini.
"Baik. Adakah yang ingin ditanyakan?" tanya Pak Agung sambil melihat ke sekelilingnya. Beberapa mahasiswa yang ingin bertanya terpaksa mengurungkan niatnya karena ancaman teman sebelahnya yang sudah kelaparan dan kepanasan.
"Kalau begitu kita akan ketemu lagi minggu depan di kelas...Oh ya buat audiens gelap di belakang sana boleh datang juga ke kelas kalo tertarik", kata Pak Agung agak keras. Sebenarnya Pak Agung mengetahui keberadaan Dodik dari tadi. Tapi ia membiarkannya saja. Dodik pun kaget dan keluar dari tempat persembunyiannya sambil garuk-garuk kepala, nyengir dan berkata,"He...he.. .iya,Pak. Makasih,Pak."

Mahasiswa pun bergegas membereskan dan membersihkan tempat pertemuan mereka. Beberapa segera berlari meninggalkan tempat pertemuan menuju warung makan karena kelaparan.



Statistics for the Behavioral and Social Sciences (4th Edition)Statistics Explained: A Guide for Social Science StudentsStatistics for Psychology Value Pack (includes Study Guide and Computer Workbook for Statistics for Psychology & SPSS 16.0 CD )

12 komentar :

Anonim mengatakan...

halo p.agung.. salut tuk coba bahas materi "berat" dg cara ringan,smg mhs kita (trutama)semakin tidak anti statistik (meski antipun boleh-boleh saja ya..) oya juga masih inget "ngajar" meski baru berjuang dinegeri orang, daku berjuang di negeri sendiripun pernah lupa tugas jee..he..he sukses dech!

Anonim mengatakan...

terima kasih komentarnya. sayang sekali tidak diberi keterangan siapa yang komentar ya. Jadi saya tidak bisa beri tanggapan yang cukup spesifik.

Semoga juga blog ini bisa membantu kita (termasuk saya) lebih mengenali statistik sebagai 'alat' yang berguna dalam memecahkan masalah.

Unknown mengatakan...

makasih banyak Pak.... to infonya. betul2 mengajak berpikir dengan menggunakan logika yg oke punya deh. dn lg ini membuat semakin nyata bahwa statistik itu bagaikan pembuluh kapiler sebagai tempat pertukaran antara aliran pembuluh vena ke pembuluh arteri, jadideh keseluruh tubuh-trus tetap bergerak dan ada. hehhehhehe. makasih Bapak.

Unknown mengatakan...

Terima kasih juga Bernadetta untuk komentarnya. Semoga saya bisa terus menyemangati orang lain belajar statistik melalui blog ini.

veve mengatakan...

Waaaawww,, keren sekali penjelasan bapak..

saya mau tanya nih pak. apakah pengukuran CI ini bisa juga untuk data non parametrik?

saya punya data non par, dan kemaren mencoba test signikansi dengan Kruskall-Wallis

dan pengujian menghasilkan p value lebih kecil dari alpha, sehingga Ho ditolak.

diceritakan dalam kisah Pak Bondan bahwa ketika kita memperoleh hasil yang sangat signifikan sekalipun, itu hanya berarti : kita dapat menyimpulkan bahwa sampel kita berasal dari populasi yang parameternya tidak nol.

dan saya ingin mencari tau besarnya perbedaan ini. tapi data saya non par. apakah masih bisa berlaku?
distribusi apa yang digunakan?

makasih pak sebelumnya.

Unknown mengatakan...

Untuk non parametrik sebenarnya juga mengenal CI. Hanyaa saja ketika melakukan uji non parametrik, seringkali data kasarnya 'diubah' dalam bentuk ordinal atau nominal.

Nah karena itu CI yang diperoleh juga tidak dalam bentuk data aslinya. Misalnya begini: ketika menggunakan analisis tertentu, data diubah dalam bentuk ordinal dulu. Kemudian dianalisis. Nah setelah dianalisis diperoleh CI dari data yang berupa data ordinal.
Seperti yang kita tahu data ordinal tidak bisa diubah kembali ke data intervalnya karena hilangnya informasi. Oleh karena itu CI nya adalah CI dari data ordinal tersebut.

Aisyah Dyah mengatakan...

salutt... 1000 jempol buat anda pak,,
materi statistik yang memusingkan kepala bisa bapak angkat menjadi sesuatu yang ringan dan mudah dimengerti.
di tunggu postingan selanjutnya pak...
chaayyoooo.. :)

Aisyah Dyah mengatakan...

super sekali...
1000 jempol buat anda pak...
bisa membuat statistik yang memusingkan kepala menjadi ringan dan mudah di pahami,,,
saaaluuuttt...
d tunggu postingan selanjutnya pakk..
cchhaaayyyoooo... :)

Aisyah Dyah mengatakan...

salutt... 1000 jempol buat anda pak,,
materi statistik yang memusingkan kepala bisa bapak angkat menjadi sesuatu yang ringan dan mudah dimengerti.
di tunggu postingan selanjutnya pak...
chaayyoooo.. :)

Unknown mengatakan...

Terima kasih Aisyah Dyah.

Semoga blog ini berguna untuk banyak orang lainnya.

Anonim mengatakan...

mohon maaf pak, saya masih kurang jelas untuk materi CI pada contoh. apabila mean 165 kenapa CI tidak mengandung nilai 165 tetapi malah berkisar antara 176 s/d 183? Mohon penjelasannya pak. Nuwun.

Anonim mengatakan...

MP3
Naruto MP3

Boruto MP3

One Piece MP3

Bleach MP3