Selasa, April 26, 2016

Kisah Sebuah Pertanyaan di Kelas Siang

Saya teringat sebuah diskusi dengan seorang mahasiswa mengenai pertanyaan mengapa mahasiswa psikologi perlu belajar metode penelitian dan mengerjakan skripsi? Diskusi itu tidak hanya dilakukan di kelas tapi juga di kantor. Saya sangat menghargai keterbukaan mahasiswa tersebut menanyakan pertanyaannya, yang saya yakin sebenarnya juga ada dalam pikiran banyak orang, tidak hanya mahasiswa. Berikut adalah kisah pertanyaan tersebut dan jawaban-jawaban saya. Tentu saja kejadian sebenarnya tidak tepat seperti yang dikisahkan, jawaban-jawaban saya dalam artikel ini juga sudah melalui pemikiran yang lebih lama. 

Pertanyaan itu (Kalo dalam Bahasa Inggris: The Question)

"Pak, mengapa kita perlu menulis skripsi? Mengapa perlu belajar metode penelitian?",seorang mahasiswa bertanya dengan gamblangnya di sebuah siang, ketika kuliah seminar (semacam persiapan penulisan skripsi) berlangsung.

"Sebelum saya jawab, saya tanya dulu ya. Apa yang kamu bayangkan tentang psikologi ketika kamu memilih untuk kuliah di bidang psikologi?", demikian tanggapan saya.

"Ya, saya belajar tentang teori-teori psikologi dan bagaimana menerapkannya dalam praktek nyata," jawabnya.

"Bisakah memberikan contoh agar pendapatmu menjadi lebih jelas?", tanya saya.

"Misalnya begini, Pak," jawab mahasiswa tersebut,"Saya belajar tentang psikologi perkembangan anak. Dari sana saya mengetahui bahwa kita harus melakukan ini dan itu agar seorang anak dapat bertumbuh optimal. Kalau saya nanti bekerja sebagai guru atau psikolog anak, saya dapat menerapkan pengetahuan ini untuk menolong anak bertumbuh optimal."

"Jadi boleh dibilang kamu mengharapkan akan belajar teknik-teknik, cara-cara, dan semacam tips dan trik aplikasi psikologi, begitukah?", saya menyimpulkan.

"Ya kurang lebih begitu, Pak", jawabnya.

"Pertanyaan saya berikutnya: Bagaimana kamu tahu kalau apa yang diajarkan oleh dosen itu benar?", tanya saya.

"Yah, kan dosen sudah ahlinya, Pak. Bisa juga baca di buku apakah penjelasan dosen sudah sesuai dengan buku acuannya. Kan nggak mungkin lah, Pak, dosennya sembarangan ngajarnya", jawabnya.

"Ya. Berasumsi bahwa semua dosen dan penulis buku memiliki integritas, maka mereka pasti tidak akan sembarangan mengajar atau menulis. Nah, kalaupun asumsi ini benar, mereka juga punya keterbatasan dalam menggali sumber-sumber untuk mengupdate pengetahuan mereka. Sementara ilmu pengetahuan terus berkembang" jawab saya.

"Tapi apakah ini berarti mahasiswa harus mengupdate semua pengetahuan mereka dengan melakukan semua penelitian sendiri?" ia bertanya lagi.

"Tentu saja tidak. Kalau seperti itu entah kapan kamu akan menguasai bahkan hal paling dasar tentang psikologi", jawab saya.

"Jadi?", mahasiswa itu kembali bertanya.

Psikologi adalah Bagian dari Ilmu Pengetahuan

Psikologi adalah bagian dari Ilmu Pengetahuan. Ya, banyak orang akan bilang,"Saya tahu". Tapi mungkin banyak dari yang merasa tahu itu tidak menyadari konsekuensi dari pernyataan tersebut. Konsekuensi dari "Psikologi adalah bagian dari ilmu pengetahuan" adalah metode untuk memproduksi pengetahuan menjadi isu penting, sama pentingnya dengan pengetahuan yang ingin didapatkan.

Bahkan lebih jauh lagi, metode untuk memproduksi pengetahuan menjadi kriteria untuk menilai apakah pengetahuan yang dihasilkan dapat dipercaya atau tidak. Jika metode yang digunakan tidak baik, maka pengetahuan yang dihasilkan tentunya akan diragukan 'kebenarannya'. Ini berarti :

  1. Penilaian hanya dapat diberikan jika metode yang digunakan dalam memproduksi pengetahuan dipaparkan secara memadai. 
  2. Penilaian mengenai 'kebenaran' pengetahuan yang dipaparkan sangat bergantung pada 'kebenaran' metode yang digunakan. 
Kembali pada pendapat dosen atau ahli, dapatkah kita percaya pada kebenaran pendapat mereka? Jika pendapat mereka didasarkan pada metode yang tepat, maka tentu saja kita bisa mempercayainya. Dalam hal ini, pendapat dosen dan para ahli baru bisa dinilai 'benar' hanya jika mereka juga memaparkan metode memperoleh pengetahuan mereka. 

Bagaimana jika mereka mengacu pada sumber-sumber lain? 
Jika demikian adanya, maka penilaian mengenai 'kebenaran' pendapat mereka bergantung pada ketepatan penggunaan metode dalam sumber-sumber yang diacu. Ini berarti, jika kita hendak mengetahui apakah pendapat dosen atau para ahli itu benar, kita perlu membaca sumber-sumber yang menjadi acuan mereka juga. 


Metode Penelitian dan Berpikir Logis-Kritis

Nah, untuk bisa menilai apakah metode yang digunakan dalam sumber-sumber itu sudah tepat, perlu bagi mahasiswa untuk memahami metode penelitian. Dengan demikian, mahasiswa dapat menilai apakah pengetahuan yang mereka peroleh dapat dipercaya, dengan menilai apakah metode memperoleh pengetahuan tersebut sudah tepat. Lebih jauh, kelak setelah mereka lulus, mereka dapat menilai sendiri pengetahuan-pengetahuan yang akan mereka temukan dalam kehidupan mereka. 

Belajar metode penelitian juga mendorong mahasiswa berpikir logis dan kritis. Pilihan metode tertentu harus didasarkan pada pertanyaan apa yang hendak dijawab penelitian, hasil review literatur, dan hipotesis / pertanyaan penelitian yang diajukan. Kesimpulan dari hasil penelitian juga harus sesuai dengan metode yang digunakan. Misalnya, tanpa metode eksperimental, sulit sekali untuk mengambil kesimpulan mengenai hubungan kausal. Nah, dalam sumber-sumber yang dibaca tersebut, evaluasi mengenai apakah semua komponen ini sudah selaras dapat dilakukan mahasiswa, hanya jika ia menguasai metode penelitian.

Bagaimana dengan skripsi? 
Saya sendiri berpendapat bahwa Skripsi merupakan sarana pembelajaran metode penelitian yang cukup menyeluruh bagi mahasiswa. Di dalamnya mahasiswa tidak hanya belajar statistik saja, atau metode penelitian saja tetapi berusaha menggabungkan semua pengetahuan mengenai metode penelitian (dan kuliah terkait) di dalamnya. Untuk memilih satu metode misalnya, mahasiswa perlu mengetahui metode-metode alternatif dan argumen tidak memilih argumen metode alternatif tersebut. 

Skripsi juga memberi kesempatan pada mahasiswa untuk melatih kemampuan mengambil kesimpulan logis dari berbagai sumber yang dibaca dan dari data, memikirkan strategi yang paling tepat berdasarkan sumber bacaan, mengantisipasi pelaksanaan rencana, membangun argumen yang tajam namun sopan, mengkomunikasikan baik diri sendiri maupun hasil penelitian, dll. Banyak sekali ketrampilan yang dilatih dalam pengerjaan skripsi. 

Membaca Artikel Hasil Penelitian

"Tentu saja mahasiswa tidak akan diminta untuk melakukan semua penelitian untuk menjustifikasi informasi yang ia dapatkan. Mahasiswa bisa membaca artikel-artikel hasil penelitian dan mengevaluasi apakah informasi yang ia didukung oleh temuan-temuan terkini", saya menjelaskan kembali. 

"Dalam membaca hasil penelitian ini",saya melanjutkan,"perlu kiranya pembaca tidak hanya membaca bagian diskusi atau kesimpulan atau abstraknya saja - seperti yang sering dilakukan selama ini oleh banyak mahasiswa (dan akademisi juga). Metode penelitian merupakan bagian yang sama pentingnya dengan hasil penelitian untuk dibaca. Karena bagian metode inilah yang dapat digunakan untuk menilai apakah kesimpulan yang diambil oleh peneliti dapat dipertanggungjawabkan. Saya memiliki contoh penelitian yang sangat sembrono dalam menarik kesimpulan (bisa dibaca di sini)". 

Kerugian yang Ditimbulkan Pseudoscience

"Tapi, Pak. Mengapa kita perlu getol sekali mengejar informasi yang benar? Kalaupun tidak benar, tidak ada masalah serius kan, Pak? Misalnya ada yang menyebutkan bahwa musik klasik ciptaan mozzart dapat meningkatkan inteligensi. Kalaupun toh itu salah juga tidak ada masalah serius bukan?" tanya mahasiswa tadi. 

"Ada dua kerugian yang bisa ditimbulkan oleh informasi yang keliru, atau saya sebut dengan pseudoscience:
  1. Kerugian langsung baik dalam bentuk fisik, psikis, ekonomi, dll. Contoh paling konkret adalah praktek terapi yang keliru. Praktek terapi yang keliru bisa berujung pada bunuh diri, jika klien yang dilayani memiliki kecenderungan depresif berat. Atau bisa juga menyebabkan munculnya gangguan psikologis yang awalnya tidak diderita. Kasus lain misalnya terkait dengan kesaksian ahli yang berkontribusi menentukan nasib seorang terdakwa. Jika ahli tersebut memiliki informasi keliru, bisa terjadi seorang terdakwa yang berbahaya dilepaskan atau sebaliknya orang yang tidak bersalah masuk penjara. 
  2. Kerugian tidak langsung dapat berupa teralihkannya sumber-sumber daya yang seharusnya bisa dialokasikan pada usaha-usaha yang lebih berguna. Misalnya pada kasus efek mozzart: Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk meningkatkan gizi, yang jelas-jelas didukung secara ilmiah dapat meningkatkan inteligensi, akan teralihkan pada pembelian CD musik mozzart atau alat lain pendukungnya. 
Kerugian-kerugian seperti ini seringkali tidak terdeteksi karena psikologi berurusan dengan 'barang yang tidak kelihatan' yang dipengaruhi oleh banyak sekali faktor dan dampak yang tidak langsung. Oleh karena itu dampak dari kesalahan tidak segera dirasakan, karena 'tidak terlihat'. Selain itu, korban penderita dapat senantiasa dijadikan alasan penyebab ketidakmanjuran intervensi. Kita sering mendengar 'ahli' berkata,"Ya itu tergantung pada orang masing-masing," atau,"Semua ini kembali pada individu nya sendiri-sendiri", atau,"Klien, dalam ketidak-sadarannya, menolak intervensi", dan lain-lain."

Pengalaman dan Testimoni

"Tapi, Pak. Bukankah kita juga bisa belajar dari pengalaman?", tanya mahasiswa tersebut. 

"Benar. Tetapi pengalaman pribadi sangatlah terbatas dalam hal generalisasi dan kontrol terhadap bias. Jika saya melakukan intervensi tertentu, sangat manusiawi jika saya mengharapkan intervensi tersebut berhasil. Dan harapan ini akan berpengaruh pada penilaian saya mengenai keberhasilan intervensi, meskipun saya sudah berusaha jujur. 

Ada satu bab dalam buku 'House of Cards: Psychology and Psychotherapy Build on Myth' karya Robin M Dawes yang memaparkan kelemahan 'pengalaman' dalam menjustifikasi kebenaran informasi atau intervensi.

Hal yang sama juga dengan testimoni saya kira.

Itulah mengapa mahasiswa psikologi perlu belajar tentang metode penelitian. Untuk membekali dirinya sendiri agar terlindung dari pendapat 'ahli' yang keliru dan tidak berdasar, sekaligus melindungi masyarakat juga agar praktek psikologi dari lulusan psikologi tidak sembrono", jawab saya sekaligus menutup diskusi itu. 

Apa pendapatmu?

Tidak ada komentar :