Kamis, April 28, 2016

Kritik Penelitian: Perbandingan antara Mendengarkan Lantunan Kitab Suci* dan Mendengarkan Musik Klasik

Penelitian yang saya kritik ini adalah penelitian sesungguhnya, namun demikian judul penelitian saya ubah untuk menghindari sentimen agama. Ini saya lakukan dengan harapan pembaca lebih fokus pada kelemahan penelitian yang dilakukan, dan tidak terganggu dengan 'bungkus' agama-nya. Ini juga saya lakukan untuk menyadarkan pembaca, bahwa tidak semua penelitian yang terbit di luar negeri dan berbahasa inggris pasti benar. Banyak penelitian yang memiliki kelemahan yang cukup serius termasuk penelitian yang saya kritik ini. 


Sekilas mengenai Penelitian Ini

Penelitian ini hendak membandingkan pengaruh mendengarkan lantunan kitab suci dan mendengarkan musik klasik terhadap gelombang otak alpha yang diukur menggunakan EEG. Meningkatnya frekuensi gelombang alpha menunjukkan peningkatan kondisi rileks partisipan. Penelitian ini hendak membandingkan pola gelombang otak antara kedua intervensi, baik sebelum, pada saat dan setelah intervensi.

Partisipan penelitian terdiri dari 28 orang berusia antara 20 hingga 28 tahun. Peneliti memilih salah satu kitab dalam Kitab Suci untuk dilantunkan, sementara musik klasik yang dipilih adalah Canon D major oleh Palchelbel [1]

Prosedur eksperimen yang dijalankan sebagai berikut:
  1. Sebelum eksperimen dimulai, peneliti mengambil data gelombang alpha partisipan terlebih dulu selama 5 menit sebagai sampel. Partisipan diminta untuk menutup mata dan dalam posisi rileks.Kemudian partisipan diberi waktu istirahat selama 1 menit. 
  2. Peneliti memperdengarkan musik klasik selama 5 menit, sementara partisipan mendengarkan dengan menutup mata. Selama mendengarkan, gelombang alpha juga dicatat oleh peneliti. Kemudian partisipan diberi waktu istirahat selama 1 menit. 
  3. Peneliti mengambil data gelombang alpha kembali selama 5 menit, dengan partisipan menutup mata. 
  4. Sesi diakhiri dengan beristirahat, berbincang atau membaca majalah. 
  5. Prosedur ini diulang di hari kedua dengan memperdengarkan lantunan Kitab Suci. 
Peneliti juga melakukan interview dengan menggunakan kuesioner untuk menggali beberapa informasi seperti seberapa sering mendengarkan musik, alasan mendengarkan musik, dan apakah mereka setuju bahwa mendengarkan lantunan Kitab Suci memberikan lebih banyak manfaat daripada musik. 

Hasil Penelitian Berdasarkan Laporan Peneliti

Hasil Interview
Delapan puluh persen (80%) partisipan mengaku bahwa mereka senantiasa mendengarkan musik, sementara 20% partisipan mengaku jarang. Alasan mendengarkan musik yang memiliki persentase terbesar adalah bosan (28%), disusul untuk kesenangan (26%) dan meredakan ketegangan (22%). Sementara 14% mendengarkan musik sebagai hobi dan 10 % mendengarkan musik karena sedih. 

Dari 28 partisipan tersebut, 97% setuju bahwa mendegarkan lantunan Kitab Suci memberi manfaat lebih besar daripada mendengarkan musik. 

Analisis Data EEG
Peneliti melaporkan partisipan no 11, 12, 23, 21, 25, serta mean dari tiap sesi, untuk tiap belahan otak untuk tiap intervensi. 

Partisipan no 11 dilaporkan mengalami keseimbangan gelombang otak alpha lebih besar ketika mendengarkan lantunan Kitab Suci dibandingkan ketika mendengarkan musik. Hasil yang sama juga tampak pada partisipan no 12. 

Partisipan no 23 menunjukkan penurunan gelombang otak alpha (yang menunjukkan kondisi makin tidak rileks) ketika mendengarkan musik, sementara mengalami kenaikan ketika mendengarkan lantunan Kitab Suci. 

Partisipan no 21 mengalami kenaikan gelombang otak alpha yang lebih besar ketika mendengarkan lantunan Kitab Suci dibandingkan ketika mendengarkan musik. 

Partisipan no 25 memiliki gelombang alpha yang stabil setelah mendengarkan lantunan Kitab Suci meskipun lebih kecil dibandingkan mendengarkan musik. Peneliti menyimpulkan dampak psikoterapi religius lebih bertahan lama. 

Perbandingan mean antara kedua intervensi, menunjukkan bahwa ketika mendengarkan musik klasik gelombang alpha pada otak kanan mengalami peningkatan sebesar 8.9%. Grafik yang ditampilkan juga menunjukkan keseimbangan gelombang alpha antara otak kanan dan kiri baik setelah mendengarkan musik maupun lantunan Kitab Suci. 

Besarnya korelasi antara besarnya gelombang alpha pada otak kanan dan kiri juga dipaparkan sebagai bukti keseimbangan antara otak kanan dan kiri akibat intervensi. Peningkatan nilai korelasi sebesar 12.67% terjadi ketika partisipan mendengarkan lantunan Kitab Suci, dibandingkan dengan peningkatan sebesar 9.96% ketika mendengarkan musik. 

Kesimpulan
  1. Peneliti menyatakan adanya efek dari kedua intervensi terhadap gelombang otak. 
  2. 12.67% sampel menunjukkan peningkatan gelombang alpha sebelum dan setelah mendengarkan lantunan Kitab Suci, sementara hanya 9.96% peningkatan ditemukan ketika mendengarkan musik.
  3. Mendengarkan lantunan Kitab Suci dapat menghasilkan kondisi yang lebih rileks dan meningkatkan perhatian (more alert). 

Kritik Saya terhadap Penelitian Ini

Ada beberapa kelemahan dalam penelitian ini yang membuat saya sangat meragukan kesimpulan yang diambil. Saya mengklasifikasikannya dalam beberapa kategori [3,4]: Validitas Kesimpulan Statistik, Validitas Internal, Validitas Konstruk, dan Validitas Eksternal.

Validitas kesimpulan statistik.
Pada dasarnya dalam kategori ini sebuah penelitian diuji apakah kesimpulan yang diambil mengenai ada/tidak adanya efek / korelasi, sudah benar.

Saya memfokuskan pada hasil analisis data EEG saja dalam kritik ini. Peneliti melakukan kesalahan sangat fatal dalam mengambil kesimpulan penelitian yang diperoleh. Kesalahan tersebut adalah kesimpulan hanya didasarkan pada data yang mendukung dugaan peneliti saja. Sementara, gejala umum yang terjadi sebenarnya tidak mendukung dugaan peneliti. Misalnya:

1. Gejala umum yang dilihat dari mean gelombang alpha menunjukkan mendengarkan lantunan Kitab Suci cenderung menurunkan frekuensi gelombang alpha. Berikut screen shot dari histogram yang dibuat oleh peneliti dalam artikelnya.


Jika kita melihat grafik batang di atas, trend umum yang terjadi ketika mendengarkan lantunan Kitab Suci adalah gelombang alpha yang makin kecil (menunjukkan keadaan yang makin kurang rileks). Sementara ketika mendengarkan musik klasik, pola gelombang alpha berbeda antara belahan kanan dan kiri.

2. Jika kita menghitung proporsi partisipan yang mengalami peningkatan, maka


dapat disimpulkan bahwa proporsi partisipan yang mengalami peningkatan frekuensi gelombang alpha cenderung lebih banyak ketika kelompok mendengarkan musik klasik.

Dengan melihat pada dua grafik deskriptif ini, kita sudah bisa melihat kecerobohan peneliti dalam mengambil kesimpulan mengenai data.

3. Kelemahan berikutnya terkait dengan tidak dilakukannya uji signifikansi dalam penelitian tersebut. Saya melakukan uji signifikansi terhadap data tersebut dan menemukan bahwa, ketika mendengarkan musik klasik, tidak ada perbedaan frekuensi gelombang alpha yang signifikan antara sebelum, saat mendengarkan, dan sesudah mendengarkan musik klasik. Pada saat mendengarkan lantunan Kitab Suci, terdapat perbedaan gelombang alpha yang signifikan antara:

  • Sebelum dan sesudah intervensi, pada belahan otak kiri: sebelum intervensi frekuensi gelombang alpha lebih tinggi daripada setelah intervensi. 
  • Pada saat dan sebelum intevensi, pada belahan otak kanan: sebelum intervensi, frekuensi gelombang alpha lebih tinggi daripada saat intervensi.
  • Sebelum dan sesudah intervensi, pada belahan otak kanan: sebelum intervensi frekuensi gelombang alpha lebih tinggi daripada setelah intervensi. 
Kesimpulan dari uji signifikansi tersebut menunjukkan bahwa mendengarkan lantunan Kitab Suci justru menurunkan frekuensi gelombang alpha yang merupakan indikasi kondisi partisipan makin tidak rileks. 

4. Dalam melakukan analisis korelasional antara belahan otak kanan dan kiri, peneliti hanya melaporkan besarnya peningkatan koefisien korelasi sebelum dan pada saat intevensi. Ketika mendengar musik klasik, peningkatan korelasi hanya 7.60% sementara ketika mendengar lantunan Kitab Suci terjadi peningkatan korelasi sebesar 12.67%. Peneliti tidak melaporkan penurunan korelasi yang terjadi setelah intervensi dilakukan. Penurunan korelasi setelah mendengarkan musik klasik hanya 6.02% sementara penurunan korelasi setelah mendengarkan lantunan kitab suci sebesar 11.18%. Peneliti hanya melaporkan bagian pertama untuk menunjukkan kelebihan dari mendengarkan lantunan kitab suci, sementara tidak melaporkan bagian kedua yang menunjukkan kelebihan musik klasik. (Catatan: angka 7.60 dan 6.02 merupakan hasil hitungan saya sendiri, karena hasil hitungan dalam penelitian tersebut berbeda dengan yang saya temukan). 

Kesalahan pengambilan kesimpulan ini sangat berbahaya karena mengarahkan orang untuk mempercayai adanya efek positif yang sebenarnya tidak ada atau yang sebenarnya bersifat negatif.  

5. Peneliti juga tidak mengendalikan variabel gender, padahal dalam beberapa studi ditunjukkan adanya perbedaan gelombang alpha antara laki-laki dan perempuan ([2]). Hasil analisis, oleh karena itu, berpotensi bias. 

Validitas Internal
Ada beberapa kelemahan penelitian dari segi ini:
  1. Peneliti tidak melakukan counter-balancing urutan pemberian intervensi, meskipun memberikan jarak antara intervensi pertama dan kedua. Urutan pemberian intervensi bisa menyebabkan keraguan adanya efek, misalnya efek pada intervensi kedua bisa muncul karena efek yang terbawa dari intervensi pertama atau adanya efek Maturasi. 
  2. Pemilihan partisipan juga kurang dijelaskan secara detil, misalnya apakah yang dipilih sebagai partisipan adalah mahasiswa yang beragama sama dengan acuan Kitab Suci yang dilantunkan. Selain itu familiaritas terhadap musik klasik nampaknya juga tidak dipertimbangkan dalam pengambilan partisipan. Agama dan familiaritas dapat berpengaruh terhadap hasil penelitian. 
  3. Lamanya intervensi yang ditetapkan tidak memiliki basis argumen yang memadai: apakah secara teoretik lamanya intervensi (5 menit) memadai untuk menimbulkan efek.
Validitas Konstruk 
Ada paling tidak satu isu dalam penelitian ini terkait dengan validitas konstruk, yaitu penggunaan intervensi yang terbatas: hanya lantunan dari satu kitab saja tetapi digeneralisasi pada lantunan Kitab Suci dan hanya satu musik klasik saja tetapi digeneralisasikan pada Musik Klasik secara umum. Kelemahan ini terkait dengan mono-operation bias [3,4]. 

Validitas Eksternal
Penelitian ini memiliki keterbatasan validitas eksternal karena jumlah subjek yang terbatas sekaligus pengambilan sampel yang terbatas. Saya sangat memahami kondisi ini yang dapat diakibatkan besarnya biaya untuk melakukan eksperimen.  



Kesimpulan

Penelitian yang dirancang sangat baik sekalipun tidak akan lolos dari kelemahan-kelemahan penelitian, karena adanya keterbatasan waktu, tenaga dan biaya. Namun demikian, dalam pandangan saya, peneliti dalam artikel ini tergolong sangat ceroboh, jika tidak dapat dianggap dengan sengaja membengkokkan hasil penelitian agar terlihat mendukung dugaan peneliti. Peneliti mengabaikan banyak fakta dalam hasil penelitiannya yang tidak mendukung dugaannya, dan melaporkan efek penelitian yang mendukung secara berlebihan. 

Selain itu, entah karena sengaja atau karena ketidakpahaman, peneliti menuliskan kesimpulan dengan memelesetkan temuan. Dalam temuan angka 12.67% terkait dengan peningkatan korelasi antara belahan otak kanan dan otak kiri, tetapi dalam kesimpulan disebutkan 12.67% sampel mengalami peningkatan gelombang alpha. Pernyataan seperti ini jelas misleading informasi mengenai hasil temuan. 

Laporan penelitian seperti ini tidak selayaknya diterbitkan atau dikonsumsi publik. 

Catatan

*Kata "Kitab Suci" merupakan pengganti nama kitab suci yang disebutkan spesifik dalam tulisan aslinya. Saya memutuskan tidak menuliskannya di sini untuk menghindari perdebatan tidak perlu terkait dengan isu agama. Saya hanya ingin berdiskusi tentang permasalahan metode penelitian dalam penelitian ini saja.

Referensi

[1] Canon D Major by Palchebel. 

[2] M Matsuura ,K YamamotoH Fukuzawa, Y Okubo, H Uesugi, M Moriiwa, T Kojima, Y Shimazono. (1985). Age development and sex differences of various EEG elements in healthy children and adults — Quantification by a computerized wave form recognition method. Clinical Neurophysiology. Vol 60 (5): 394 - 406. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/0013-4694(85)91013-2

[3] Shadish, W., Cook. T. D., & Campbell, D. T.(2002). Experimental and quasi-experimental designs for generalized causal inference. Boston: Houghton Mifflin Company. 

[4] Maxwell, S. & Delaney, H. (2004). Designing experiments and analyzing data : A model comparison perspective. New York, NY.: Psychology Press.

2 komentar :

Anonim mengatakan...

Ini penelitiannya siapa?

Unknown mengatakan...

Untuk Anonim,

Kalau boleh tahu mengapa anda menanyakan siapa penelitinya? Dalam hal ini, informasi mengenai siapa yang meneliti tidak relevan dengan pembahasan artikel di atas. Saya memutuskan tidak mencantumkan informasi lengkap dengan alasan yang sudah saya kemukakan di atas.

Jika anda menghendaki membaca lengkap penelitiannya, saya bisa kirimkan artikel tersebut lewat japri (Silahkan menuliskan alamat e-mail anda di komentar, alamat e-mail anda tidak akan saya publish untuk menghindari spamming pihak yang tidak bertanggungjawab). Dengan catatan anda tidak mencantumkan informasi tersebut dalam komentar berikutnya di artikel ini.