Senin, Desember 17, 2007

Kalo Signifikasi Tidak Bicara Besar Kecil, Lalu Apa?

Kisah ini fiktif belaka lagi. Tokoh dan peristiwa di dalamnya hanyalah karangan belaka. Tidak ada maksud untuk merepresentasikan seseorang atau suatu peristiwa tertentu. Jika ada kesamaan-kesamaan, maka itu hanyalah kebetulan saja.

Terlihat seorang lelaki dan perempuan sedang membicarakan hal yang serius di pojok kantin kuliah.
“Jadi nggak ada kepastiannya?” tanya si perempuan.
“Ya nggak ada kepastiannya”, jawab si lelaki.
“Kok gitu?” si perempuan mendesak seperti tidak terima.
“Loh kalo memang nggak ada kepastian ya nggak bisa dipasti-pastiin to ya”, jawab si lelaki lagi.
“Terus aku harus gimana?”, si perempuan bertanya,”harus jawab apa?”
“Ya seperti yang sudah tak beritahu ke kamu,” jawab si lelaki lagi.
“Tapi…”

Seminggu Yang Lalu

“Rei, rei, gimana hasil analisisnya?” tanya Rio.
“Ya sudah selesai. Sekarang tinggal bikin pembahasan aja”,jawab Rei,”Tapi saya nggak yakin nih. Masih inget diskusi sama Pak Agung nggak?”
“Waduh lupa tuh. Hehe. Kalo urusan kuliah memorinya nggak pernah bisa kerjasama”,jawab Rio sekenanya.
“Ah kamu memang payah,”kata Rei,”yang itu lo mengenai signifikan nggak selalu berarti besar.”
“Kalo itu aku inget. Intinya kalo uji hipotesis signifikan, nggak berarti perbedaan atau korelasinya besar. Itu yang tak inget sih”, kata Rio.
“Nah itu dia. Masalahnya kan Pak Agung belum jelasin gimana tahunya perbedaannya besar atau kecil kalo nggak pake signifikasi. Waktu itu dia keburu mau ngajar. Aku pengen tahu aja caranya. Rencananya sih mau tak laporkan di skripsiku juga”, kata Rei.
“Wah kok pake repot segitunya sih?”tanya Rio.
“Ya kan biar saya bisa bilang hasilnya besar atau kecil. Kalo pengujinya Pak Agung terus ditanya-tanya apa dasarnya kan repot”, kata Rei,”kabarnya Pak Agung itu ceriwis sekali di dalam ruang ujian.”
“Iya sih yang tak denger gitu. Syerem… hehe… Terus gimana?” tanya Rio.
“Tolongin aku dong, Rio. Tanyain ke Pak Agung”, kata Rei.
“Lah kok aku yang nanya? Udah kamu nanya sendiri aja. Pak Agung nggak galak ini”, kata Rio.
“Yaa nggak enak dong. Aku dah sering banget nanya-nanya. Malu, masa nanya terus. Nanti kalo pas ujian dia yang nguji kan nggak lucu. Ya Rio ya…pliiis.”Rei pun memasang tampang mengiba penuh harap.
“Iya iya deh. Aku paling nggak tahan liat mukamu kalo dah gitu”, jawab Rio.
Rei pun tersenyum senang.
“Tapi ada ongkosnya lo ya”,sambung Rio.
“Iya, iya nanti tak traktir makan di soto Pak Trimo deh”, kata Rei.

Judgment Call

“Met siang, Pak”, Rio menyapa sambil mengetuk pintu ruang Pak Agung.
“Ya ya selamat siang. Ada apa ya?” tanya Pak Agung.
“Gini, Pak. Saya mau nanya nih tentang statistik”, kata Rio,”tapi kalo Pak Agung nggak repot”.
“Wah ya kalo repot, pasti repotnya. Tapi nggak masalah kalo mau nanya-nanya. Saya nggak keberatan direpoti”, jawab Pak Agung sambil membereskan buku-buku di atas mejanya yang memang sepertinya tidak pernah ditata dengan baik.
“Makasih, Pak. Saya mau nanya tentang penjelasan bapak mengenai signifikan nggak selalu berarti besar”, kata Rio,”Waktu itu Pak Agung belum sempet jelasin lalu pake apa kalo mau melihat efeknya besar apa nggak.”
“Oh mengenai itu. Kenapa kok tiba-tiba kamu nanya itu?” tanya Pak Agung lagi.
“Eh … ng … itu, Pak…saya cuma penasaran aja gimana selanjutnya”, Rio agak gelagapan juga cari alas an. Nggak mungkin dong dia bilang Rei yang minta tolong dia buat nanya Pak Agung.

“Oh gitu ya. Menurutmu gimana cara tahu perbedaannya besar atau nggak?” tanya Pak Agung.
“Yah bapak ini, saya nanya karena nggak tahu kok malah balik ditanya”,kata Rio sambil berusaha bercanda.
Pak Agung tersenyum, tapi dengan serius dia menunjuk kepalanya sendiri dengan jari telunjuknya. Rio segera tahu Pak Agung serius bertanya, memang dosen satu ini suka sok misterius begitu.
“Eh… ng … gimana ya?” Rio agak gelagapan sambil berpikir keras.
“Kalo uji beda yang berbeda apanya to?”tanya Pak Agung.
“Ya meannya Pak. Mean antar kelompok”,jawab Rio agak bingung. Dalam hati ia bertanya,”Ya lalu kenapa?”
“Jadi kalo kamu pengen tahu perbedaannya besar apa yang dilihat?” tanya Pak Agung lagi.
“Beda meannya gitu, Pak?”ragu akan jawabannya sendiri, Rio tetap mengatakannya.
“Ya…ya… Karena yang diuji beda mean, ya kalo mau lihat besar atau kecil ya lihat beda meannya dong”, jawab Pak Agung.
“Tapi, Pak… Dulu bapak bilang beda mean itu nggak bisa dijadikan acuan beda populasi karena mungkin terjadi karena sampling error. Terus gimana, Pak?”Rio kebingungan.
“Oh saya tahu. Kalo hasil uji hipotesisnya signifikan kita baru bisa pake beda mean sebagai acuan besar kecil gitu ya,Pak?” kata Rio menjawab pertanyaannya sendiri.
“Bisa dibilang begitu”,jawab Pak Agung. Entah kenapa dosen satu ini hari ini sok cool banget dan sok misterius banget.
“Terus acuannya gimana, Pak?”, Rio bertanya lagi dengan mantap.”Ah ternyata semudah itu ya jawabannya”,pikirnya dalam hati.
“Tidak ada”, jawab Pak Agung singkat.
Seandainya ini film kartun Jepang, Rio pasti sudah terjungkal ke belakang saking kagetnya disertai balon suara : GUBRAKK!!
“Loh terus gimana nentuin besar kecilnya, Pak?” tanya Rio setelah ia tersadar dari fantasi kartun jepangnya.
“Ya pake ini,”kata Pak Agung sambil menunjuk kepalanya lagi,”Judgment. Penilaian”.
Rio seakan mendengar petir menyambar-nyambar bersambungan di dalam hatinya… nggak segitunya kali ya. Maaf terlalu dramatis kali yee…

Standardized Mean Difference atau Beda Mean yang diStandardkan (d).

Tapi Rio, kan itu subjektif banget”, Rei menyela bahkan sebelum Rio menyelesaikan penjelasannya.
“Aduuh sabar dong. Kan aku belum selesai jelasin”, kata Rio agak kesal. Dalam kepalanya seakan ada counter yang menghitung berapa kali Rei menyela penjelasannya. Sampai sejauh ini angkanya mencapai 18 baru dalam satu jam percakapan.
“Iya iya maaf. Soalnya kan itu subjektif banget. Masa kita pake penilaian kita sendiri”, kata Rei.
“Nggak cuma itu. Beda mean tidak dapat dijadikan dasar untuk membandingkan penelitian satu dengan yang lain…”, kata Rio
“Kok bisa?” Rei menyela lagi. Dalam kepalanya counter berbunyi klik dan angka menjadi 19.
“Karena penelitian yang berbeda mungkin menggunakan skala atau alat pengumpul data yang berbeda sehingga unit ukurnya nggak sama. Gampangnya gini kalo aku ngukur panjang meja ini dengan unit centimeter, kamu pake unit inci kan nggak bisa dibandingin…” belum selesai Rio bicara lagi-lagi Rei menyela.
“Tapi kan bisa dikonvert. Tinggal dikali aja hasil incinya dengan 2,54 nanti kan unitnya jadi centimeter”

Klik! 20.

“Iya. Itu kalo panjang meja. Lah kalo inteligensi. Saya diukur pake WAIS lalu kamu pake TIKI. Terus nilai IQ saya harus dikali berapa supaya memiliki unit yang sama dengan skor IQ mu?” jawab Rio. Yes! Dalam hatinya. Baru kali ini dia bisa menang berdebat sama Rei.
Rei pun diam,”Iya ya…”, katanya kemudian lirih.
“Nah tapi betul kan nggak bisa pake beda mean begitu saja?” tanya Rei bersemangat lagi.
Rio benar-benar tergoda untuk mengklik counternya lagi menjadi 21, tapi diurungkannya.
“Iya. Kelemahan menggunakan beda mean memang itu. Makanya nggak ada yang pake beda mean sebagai …” belum selesai bicara Rei memotong lagi.
“Nah terus ngapain kamu jelasin ke aku?”

Klik! 21

“Karena ini ide dasarnya. Cara-cara yang dipake sekarang ini itu beride dari sini gitu lo”, jawab Rio mulai ngotot.
“Kasusnya agak beda dengan korelasi. Beberapa orang memberikan acuan besar kecilnya korelasi. Ini karena korelasi merupakan nilai yang distandardkan, jadi bisa dibandingkan antar penelitian”,kata Rio.
Entah kenapa Rei kali ini tidak segera memotong penjelasannya. Mungkin ia menyadari kekesalan Rio kah? Atau mungkin sudah cape memotong terus dari tadi…hmm sebentar Rei? Cape memotong? Sepertinya…

“Nah ide ini yang kemudian juga dipakai untuk melihat perbedaan mean. Kita menstandardkan beda meannya. Dalam hal ini kita menggunakan standard deviasi dari kelompok sebagai satuannya. Jadi selisih meannya kemudian dibagi standard deviasi kelompok. Rumusnya kayak begini nih”, kata Rio sambil mengeluarkan kertas kucel dari dalam sakunya. Kemudian ia menulis di selembar kertas itu:


“Nah karena nilai d ini sudah distandardkan makanya kita bisa membandingkannya dari penelitian satu ke penelitian lain”, Rio menjelaskan.
“Tapi, tetap tidak menjawab berapa besar yang dibilang besar. Acuannya?”tanya Rei lagi.

“Begini, ada seorang ahli yang bernama Cohen. Dia memberi semacam acuan atau guideline untuk menentukan besar kecilnya…”,Rio diam sejenak memberi kesempatan Rei untuk menyiapkan catatannya.
“Menurut Cohen, angka d sebesar 0.2 itu termasuk efek yang kecil, sementara 0.5 itu termasuk sedang dan 0.8 ke atas itu besar”, Rio melanjutkan,”Tapi Cohen juga memberi peringatan bahwa angka ini hanya acuan sementara saja. Bukan patokan yang harus diacu di semua penelitian. Acuan yang sebenarnya adalah hasil-hasil penelitian yang sudah dilakukan selama ini dalam cakupan ilmu tertentu. Jadi kita tetap harus melihat penelitian-penelitian sebelumnya.”, Rio menyelesaikan kalimatnya, lalu meneguk es teh yang segar di depannya,”selanjutnya menggunakan ini”, kata Rio menirukan gaya Pak Agung menunjuk kepalanya sendiri.

“Jadi nggak ada kepastiannya?” Rei bertanya sambil menunjukkan muka cemas. Baginya statistik adalah dunia hitam atau putih, benar atau salah, ditolak atau diterima. Statistik menyajikan jawaban abu-abu itu hal yang mustahil baginya. Bagaimanapun juga statistik itu kan matematika. Matematika itu kan ilmu pasti. Jadi …
“Ya nggak ada kepastiannya”, jawab Rio.
“Kok gitu?” tanya Rei lagi tidak puas dengan jawaban Rio.
“Loh kalo memang nggak ada kepastian ya nggak bisa dipasti-pastiin to ya”, jawab si Rio lagi.
“Terus aku harus gimana?”, si perempuan bertanya,”harus jawab apa kalo ujian?”
“Ya seperti yang sudah tak beritahu ke kamu,” jawab Rio lagi.
“Tapi nanti apa bisa dipertanggungjawabkan ke penguji?”kata Rei.

“Pak Agung juga bilang gini, menggunakan guide Cohen terlalu berlebihan juga akan berbahaya. Pertama karena bisa salah menilai hasil penelitian kita. Misalnya suatu variabel memang selalu memiliki efek dengan d sebesar 0.2 di banyak penelitian. Nah di penelitian kita, d-nya ternyata sebesar 0.25. Kalo kita mengacu ke Cohen, kita bisa bilang itu efeknya nggak terlalu besar. Tapi kalo kita ngacunya ke penelitian sebelumnya, angka 0.25 itu termasuk besar dibandingkan dengan penelitian sebelumnya”, Rio berhenti lagi dan meneguk es teh.

“Ahh… segarnya. Selain itu kalo kita ngacu ke Cohen kita bisa terjebak pada penting-tidak penting. Maksudnya…”kata Rio cepat-cepat, tidak mau disela Rei lagi,”kita bisa terjebak menganggap efek yang besar itu penting sementara yang kecil itu nggak penting. Dalam banyak hal efek yang besar itu sering tidak penting karena merupakan fenomena yang sudah diketahui banyak orang. Oleh karena itu seringkali meneliti variabel yang punya efek yang kecil juga penting karena kita bisa meneliti lebih dalam apakah ada moderator atau mediatornya.”

Rei mengangguk-angguk mengerti. Tapi sepertinya jawaban Rio tidak melegakan kecemasannya. Rio sepertinya menangkap kegelisahan Rei ini.

“ Jadi menurutku, Rei bisa kok baca-baca penelitian sebelumnya yang variabel atau temanya sama. Terus dihitung d-nya. Nah itu bisa dijadikan acuan dalam skripsi Rei nanti. Jadi nggak usah bingung gitu. Santai aja…” kata Rio sambil menghabiskan es tehnya.

R2 (R Kuadrat), h2 (Eta Kuadrat) dan w2 (Omega Kuadrat)

“Itu kalo perbedaan ya, Pak”tanya Rio lagi,”kalo korelasi terus gimana? Apa kita pake acuan seperti yang Pak Agung bilang tadi?”

“Kalo kasusnya korelasi kita bisa saja menggunakan acuan 0.2 itu kecil, 0.4 itu moderat, dan diatas 0.6 itu besar. Tapi itu bukan ukuran effect size nya. Biasanya ukuran effect size untuk korelasi itu menggunakan r2”, kata Pak Agung.

“Sumbangan efektif ya, Pak?” tanya Rio

“Ya beberapa orang menyebutnya sumbangan efektif. Saya kurang tahu juga apa arti sumbangan efektif, apakah sama dengan makna r2 ini. Kalo r2 itu berarti proporsi variasi dari variabel tergantung yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas”,kata Pak Agung.

“Saya pernah denger itu berarti banyaknya pengaruh variabel bebas terhadap tergantung ya Pak?” tanya Rio lagi.

“Bukan, bukan. Itu pengertian yang keliru. Korelasi tidak pernah mengimplikasikan adanya hubungan sebab akibat. Jadi bukan pengaruh. Kecuali jika r2 ini didapat dari hasil eksperimentasi”, Pak Agung menjelaskan.

“Berarti kalo uji beda mean pake d, kalo korelasi pake r2 gitu ya, Pak?” Rio mencoba mengklarifikasi.

“Sebenarnya uji beda mean juga mengenal r2 atau yang memiliki pengertian yang mirip. Jika kita menggunakan t-test, maka akan dihasilkan juga r2 point biserial. Rumus untuk mengkonversi t menjadi r2 poin biserial seperti ini :

Jadi kita tinggal memasukkan t dan df yang kita dapatkan dari hasil perhitungan kita.”, kata Pak Agung lagi.

“Beberapa orang lebih senang menggunakan r kuadrat ini karena hasilnya bisa dibandingkan dengan hasil analisis dari teknik analisis yang lain seperti Anava, Anakova, Regresi bahkan teknik yang sangat advance”, Pak Agung berhenti sebentar. Lalu meminum air putih dari gelas di depannya.

“Wah saya baru denger tuh Pak kalo di Anava ada r2 nya. Gimana carinya pak? Pake rumus yang sama dengan t tadi Pak?” tanya Rio.

“Rumusnya memang sangat mirip dengan rumus tadi. Prinsip dasarnya sama. Hanya berbeda sedikit karena untuk t kita hanya punya satu df, sementara untuk Anova, Anakova dan Regresi kita punya 2 df”, Pak Agung berkata lagi,”penyebutan untuk Anava dan Anakova juga agak berbeda sedikit”.

“Kalau di Anova dan Anakova istilah yang dikenal untuk effect size itu h2 (eta kuadrat) atau w2 (omega kuadrat). Keduanya sebenarnya sama hanya saja beberapa ahli bilang kalo sampel yang kita miliki itu kecil, biasanya h2 akan mengalami overestimasi. Nah ini yang kemudian dikoreksi dengan menggunakan omega kuadrat. Dalam sampel yang cukup besar, biasanya angka kedua ukuran effect size ini akan saling mendekati”,kata Pak Agung lagi.

“Terus rumusnya gimana, Pak?” tanya Rio lagi. Rio menjadi makin penasaran dengan pengetahuan barunya ini.

“Wah kalo rumusnya banyak sekali tergantung situasinya. Begini saja, saya printkan saja rumusnya ya. Nanti kamu bisa ambil di locker saya besok”,jawab Pak Agung,”yang penting kamu dapet idenya. Interpretasi eta kuadrat, omega kuadrat, r kuadrat kurang lebih sama. Berapa banyak variasi dari variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabel independen. Dalam kasus uji beda, kita bisa bilang seberapa banyak proporsi dari variasi variable dependen yang dapat dijelaskan oleh perbedaan kelompok. Dalam kasus eksperimen, kita bisa bilang berapa besar prosentasi variasi variabel dependen yang diakibatkan oleh treatmen kita”.

“Karena eksperimen kita bisa bilang akibat ya, Pak?” tanya Rio.

“Ya ya. Wah kamu jeli juga ya”, kata Pak Agung.

“Iya deh,Pak saya pamit dulu. Makasih ya, Pak, sudah dijelasin”, kata Rio pamit.

“Salam buat Rei, Ya. Bilang aja kalo dia mau tanya-tanya langsung aja nggak papa”, kata Pak Agung.

Rio pun terbelalak kaget dan hanya bisa cengar-cengir.”Bagaimana Pak Agung bisa tahu ya?” pikirnya dalam hati.

15 komentar :

Anonim mengatakan...

1. untuk menguji pengaruh variabel dependen dengan variabel independen dengan uji t (parsial) dan uji F (simultan). Bagaimana kita bisa menentukan pengaruh tersebut signifikan atau tidak?
2. apakah untuk bila penelitian kita sudah mempunyai arah (pengaruh negatif atau positif) tidak perlu untuk menyatakan pengaruh tersebut signifikan atau tidak?
Terima kasih.

Unknown mengatakan...

Terima kasih sebelumnya untuk pertanyaan yang sudah disampaikan.

Pertama Biasanya untuk mengetahui pengaruh, tidak cukup hanya mengandalkan analisis statistik saja. pengaruh terkait dengan desain penelitian. Desain penelitian yang dipercaya bisa menjawab masalah pengaruh ini adalah penelitian eksperimental. Tidak semata-mata analisis statistiknya saja. desain yang digunakan dalam penelitian anda apa?

Kedua Saya kurang memahami pertanyaan kedua ini. Apakah yang dimaksud mengenai pernyataannya atau uji signifikasinya? Jika masalahnya adalah pernyataan, menurut saya itu hanya masalah kebiasaan saja. Yang penting ada dukungan berupa hasil analisisnya.

Semoga bisa menjawab ya. Jika masih kurang jelas saya senang sekali untuk ditanyai lagi.

Anonim mengatakan...

Pak Agung...
Mau tanya, misalnya saya mau mengukur perbedaan suatu prilaku berdasarkan identitas gendernya yaitu maskulin, feminin, androgini dan tak terbedakan.

Kalau saya menyebarkan skala kepada 80 orang untuk meneliti kecenderungan perilaku nya di tinjau dari identitas peran gender kemudian setelah di analisis ternyata jumlah subjek pada identitas maskulin 14 orang, feminin 18 orang, androgini 40 orang dan tak terbedakan 8 orang.
Dengan subjek yang berbeda-beda antara identitas gender tersebut apakah masih bisa representatif untuk dilakukan analisis statistik anava?

Menurut bapak ada ga sih jumlah minimal sampel supaya memenuhi syarat untuk di analisis statistik anava sehingga nantinya bisa di katakan representatif untuk buat kesimpulan?

Saya pernah baca katanya sih untuk variabel dengan 4 kategori di perlukan jumlah sampel 18 orang untuk tiap kategorinya nya supaya bisa dianalisis anava tapi dengan large effect size.
Tapi dalam penelitian seperti ini kan, dari sejumlah sampel yang kita ambil kita tidak bisa tahu berapa banyak sampel yang akan masuk dalam tiap kategorinya, apa perlu saya terus menambah sampel sampai seluruh kategori minimal memiliki 18 orang. Terima Kasih pak.

Unknown mengatakan...

Frenky,
Terima kasih ya untuk pertanyaannya.

Begini, masalah representatif atau tidak itu terkait dengan besarnya sampel berbanding populasi. Jadi kalau populasinya besar, semakin kecil sampelnya makin kurang representatif.

Nah, besarnya sampel juga dapat ditentukan berdasarkan effect size yang diharapkan dan kekuatan analisis yang diharapkan (power).

Dalam hal ini Frenky perlu menentukan terlebih dulu dari awal mengenai perkiraan besarnya effect size. Atau perkiraan apakah nanti perbedaan mean antar kelompok dapat dikatakan besar atau kecil secara teoretik.

Lalu apakah Frenky mengharapkan kekuatan analisis yang besar untuk mendeteksi perbedaan mean.

Jika sudah ditentukan keduanya, kita bisa menggunakan power table untuk mencari besarnya sampel yang ideal.
Misalnya dengan p=.05, kategori=4,dan power yang besar (.8) maka untuk effect size kecil dibutuhkan n tiap kelompok minimal 140, untuk effect size sedang n=44, dan untuk effect size besar n=18.

Nah sekarang tinggal mana yang paling beralasan, memperkirakan effect size kecil, sedang atau besar. Ini tentunya harus kembali ke teori yang mendasarinya.

Unknown mengatakan...

Oh ya Frenky, sedikit tambahan.

Apakah berarti jumlah sampel harus ditambah terus?
Jawabannya tentunya Ya. Jika Frenky mengharapkan mendapat kekuatan analisis yang diharapkan dengan perkiraan effect size tertentu, maka jumlah sample harus memenuhi kuantitas tertentu.

Anonim mengatakan...

Pak, saya mau tanya tentang effect size.
maaf sebelumnya, tapi saya kurang mengerti penjelasan dalam tulisan bapak.
apa bapak bisa menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan effect size yang keci, sedang, atau besar? misalnya, apa arti dari hasil effect size= 0.5 dalam hasil penelitian eksperimen? kalau artinya efek sedang, sedang yang bagaimana?
kenapa semakin banyak subjeknya, justru effect sizenya semakin kecil? apakah effect size yang kecil lebih baik dalam penelitian eksperimen?
mohon penjelasannya. terima kasih.

Unknown mengatakan...

Untuk pertanyaan terakhir:

Apa makna effect size besar, sedang dan kecil?
Begini, seringkali dalam suatu penelitian ketertarikan peneliti tidak hanya melihat apakah ada perbedaan atau korelasi di populasi (signifikan atau tidak). Tapi seringkali peneliti ingin mendapat informasi mengenai apakah korelasi yang diperoleh itu besar atau perbedaan mean antar kelompok kecil? Nah, untuk melihat besar kecilnya perbedaan mean atau korelasi ini seringkali digunakan effect size, misalnya r kuadrat.
Jadi jika effect size nya besar maka ini berarti korelasi antar variabel dalam penelitian besar atau perbedaan mean antar kelompok besar (tergantung analisis apa yang digunakan).

kalau artinya sedang, sedang yang bagaimana?
Jika sedang, ini berarti perbedaan mean antara kelompok satu dan lainnya tidak besar tidak juga kecil. Atau korelasi antara dua variabelnya tidak besar atau kecil.

jumlah subjek dan effect size
Sepertinya anda agak kurang memahami maksud dari kaitan subjek dan effect size.Maksudnya begini: jika kita menduga di populasi effect sizenya besar (misalnya korelasi antar variabelnya besar), maka dibutuhkan jumlah subjek yang lebih sedikit untuk mendapatkan hasil analisis yang peka (powernya tinggi).
Tetapi jika effect size di populasi diduga lemah / kecil, maka dibutuhkan jumlah subjek yang lebih besar agar memperoleh analisis yang peka.

Semoga jawaban ini bisa membantu pemahaman anda. Salam.

Unknown mengatakan...

pak saya mau bertanya apakah effeect size dapat digunakan dalam penelitian eksperimen..? lalu di liat dari mananya suatu perlakuan memilii pengaru terhadap suatu objek yang diteliti..? oh ya pak kalau berkenan saya ingin konsultasi lanjut tentang makna dan penggunaan dari effect size ini, krena saya masih bingung dan tidak ada tempat bertanya. terima kasih sebelumnya

Unknown mengatakan...

Untuk Bagus,

Ya tentu saja. Effect size merupakan ukuran yang dapat diterapkan dalam semua penelitian yang melibatkan teknik analisis statistik.
Saya kurang jelas dengan pertanyaan ini:"lalu di liat dari mananya suatu perlakuan memiliki pengaruh terhadap suatu objek yang diteliti..?"
Sejauh yang saya pahami, adalah tugas peneliti untuk menetapkan apa yang perlu dilihat agar kesimpulan mengenai pengaruh dapat diambil.

Silahkan saja jika Bagus hendak bertanya lebih lanjut. Bagus bisa memberi saya alamat e-mail? Nanti akan saya kirimi e-mail balasan segera (dan kemudian postingan Bagus yang berisi alamat e-mail tersebut akan saya hapus agar tidak dikirimi spam).

reynaldo mengatakan...

pak, saya minta saran tentang topik meta-analisis perbedaan rata2 pada skripsi mahasiswa USD. menurut Bapak, topik menarik apa yg kira2 bagus dilakukan meta-analisis?

Unknown mengatakan...

Untuk Reynaldo,

Mohon maaf saya tidak bisa memberikan saran untuk pertanyaan Reynaldo karena saya tidak mengikuti perkembangan skripsi mahasiswa USD hampir 5 tahun ini, jadi saya tidak memiliki data memadai.

Saran saya, Reynaldo dapat mulai dari topik yang menarik bagi Reynaldo sendiri, baru kemudian mencari skripsi-skripsi dengan topik yang sama / mendekati untuk dilakukan meta analisis.

Unknown mengatakan...

Pak saya mau bertanya, bagaimana cara menghitung sumbangan efektif atau sumbangan signifikansi untuk kendall tau-b di spss ?

Ira mengatakan...

Pak Agung, ijin bertanya. Apakah effect size masih memiliki arti jika p-value tidak signifikan? atau effect size hanya dapat diartikan hanya jika p-value yang didapatkan signifikan? terima kasih

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

Pak Agung, maaf mau bertanya, apakah bapak mempunyai referensi buku yang membahas effect size dalam penelitian pendidikan (PTK)? sebelumnya terimakasih pak